Ahahaha sebenarnya kalau diminta bercerita tentang sejarah berjodoh saya dan suami itu maluuu rasanya mengingat masa lalu namun berhubung temanya GA mbak Leyla Hana memang seperti itu ya mau tak mau harus mau :D
Saya mengenal suami saat universitas kami menyelenggarakan Kuliah Kerja Nyata di Blitar sekitar tahun 1997. Berbeda fakultas dan baru dikenal di forum tersebut. Saat itu bisa lah disebut masa Jahiliyah saya karena saya memang jahil dan belum mengenal Islam secara kaffah, saya nggak mengenal taaruf tapi saya juga belum pernah pacaran sebelumnya. Dua cowok unik menjadi sahabat terdekat saya di masa awal kuliah.
Cinta pada pandangan pertama itu ngga ada dalam kamus karena saya bukan orang yang mudah jatuh cinta (kalau naksir orang tapi tak mendapat tanggapan sering 'kali ya hihihihi). Etapi si (calon) suami ini sepertinya menaruh hati sejak pandangan pertama (boleh kan GeEr dikit) ketahuan deh kalau sering curi-curi pandang maklumlah di fakultasnya manusia berjenis kelamin wanita langka jadi meski saya nggak cantik-cantik amat mungkin buatnya menjadi pemandangan yang jarang djumpai.
Intensitas pertemuan di lokasi KKN sedikit banyak memberikan gambaran tentang si Mas ini, sedikit berbau anak Emak (ya saya menyebut begitu buat mereka yang belum bisa mandiri, finansial masih nodong sana sini karena beberapa teman saya dan saya sendiri saat kuliah nyari duit dengan kerja sambilan atau ngejar beasiswa agar mampu bayar SPP dan nggak terDrop Out), sedikit pendiam, setia tapi kelihatannya tidak terlalu rajin (jiyaaaah).
Kata orang Jawa witing tresno jalaran saka kulino (cinta itu datang karena seringnya berinteraksi) aduh duh apa ya, tapi jujur saja sampai sekarang yang namanya cinta itu saya nggak bisa menjabarkannya atau malah nggak ngerti bentuknya. Yang jelas hubungan kami jadi lebih serius ketika usai KKN dia datang ke kost-kostan dan berkata dengan PeDenya bahwa saya kelak akan menjadi Ibu dari anak-anaknya. Ya OK lah dijalani saja pikir saya, toh yang penting dia beragama Islam dan sholat karena ada loh orang yang ngakunya Islam tapi nggak mau sholat (meski Islam saya abangan tapi agama adalah hal paling utama buat saya mencari jodoh). Karena saya lebih cepat lulus maka kami ber LDR-an tetapi setiap Minggu dia sering main ke rumah, ketemu Mama meski menginapnya di rumah teman yang kebetulan satu kota. Setelah dia lulus kuliah kami semakin jarang ketemu, dia bekerja di luar pulau di kota asalnya dan saya bekerja di Surabaya.
Setiap saya pulang kampung dan bertemu teman-teman pertanyaan mereka selalu "kapan menikah", tetangga-tetangga juga pada usil ada yang bertanya pada Mama apakah si Mas tadi serius nggak sama saya, ada yang mau jodohin saya dengan duda OMG, kalau Dude _ Herlino - mungkin masih saya pertimbangkan tapi kalau duda usianya dua kali lipat saya pikir-pikir dulu dong yaaaaa. Sebal dengan semua ini pas lebaran dia telpon untuk ucapan berlebaran saya ultimatum dia dengan sedikit mendongkol dan suara menahan tangis (karena begitu dongkolnya) "Kita mo berakhir bagaimana ini ?" kira-kira kalau zaman sekarang backsoundnya mungkin lagu "mau dibawa kemana hubungan kita?". Percakapan cukup singkat tapi intinya saya cuma minta kejelasan saja kapan mau nikah atau diakhiri saja, sebel banget loh jadi bahan gosip kanan-kiri.
Singkat kata beberapa bulan kemudian prosesi lamaran dilakukannya disusul nikahan. Memang kami tak punya harta benda saat menikah, itupula yang membuatnya ragu untuk segera melamar dan menikah prosesi pernikahan kami juga super sederhana hanya resepsi kecil di halaman rumah, fotografernya saja ngga sempat menyewa dan terpaksa kakak ipar merelakan diri menjadi fotografer dadakan. Tetapi Allah tidak pernah mengingkari janji, meski harus mengulur waktu untuk memiliki momongan karena pertimbangan finansial yang mengkondisikan saya untuk terus bekerja mencari nafkah (dan memang terbukti suami saya terPHK di tahun-tahun pertama pernikahan) siapa yang mengira bahwa dalam tiga belas tahun kemudian berawal dari menjadi anak kost, beranjak ngontrak, meningkat sedikit punya rumah type 21 yang langganan kebanjiran kini kami tinggal bersama dua buah hati di rumah mungil yang lebih layak huni dan nyaman.
Tak semua orang menikah itu otomatis langsung lancar rezeki dan kaya raya namun janji Allah adalah benar adanya untuk mencukupi kebutuhan hidup makhlukNya terutama yang berniat menyempurnakan separuh agama.
Tulisan ini disertakan dalam Giveaway Novel Perjanjian yang Kuat
Suka, wah jadi pngen nikah juga (kapan?)
ReplyDeleteyuuuk cepetan, semoga dimudahkan dan diijabahi doa-doanya :)
Deletehehe paling sebel emang kalo digantungin ga jelas gitu. syukurlah cepet ya, mba dwi :D moga aja aku segera nyusul, aamiin :D *doa khusyuk*
ReplyDeleteaamiin La, #doa lebih khusyu nunggu undangan Ila#
ReplyDeleteManis lho kisah cintanya mba Dwi, hehe... makasih dah ikutan GA-ku ya, Mba.. :-)
ReplyDeleteAhahaha ...malu sama mbak Leyla :D seneng mbak udah bisa meramaikan GA yang keren ini :)
Delete