Rumah adalah tempat untuk pulang, jauh darinya membuatnya rindu
Teringat
kisah yang terjalin menjadi satu
Rumah
tak sekedar bangunan fisik belaka
Di
dalamnya ada cinta, tatapan hangat dari orang-orang terdekat yang menerima kita
apa adanya
Tulisan tersebut pernah saya
posting di sosial media. Ketika haru menerpa ketika kami akan segera pindah ke rumah
baru yang lebih nyaman. Rumah sebelumnya langganan banjir setiap musim hujan
dan air laut pasang. Syukur kami panjatkan delapan tahun kemudian Tuhan memberi
kesempatan agar kami sekeluarga mampu menikmati kebersamaan tanpa takut kebanjiran.
Ketika pindah di rumah yang
kami tinggali saat ini lima tahun lalu Radit masih belajar berjalan, Rafi baru
masuk SD tak terasa kini Radit sudah masuk MI (SD Islam) dan Rafi harus naik ke
kelas enam. Banyak hal terjadi, kenangan manis maupun pahit. Tentang kata-kata
pertama yang diucapkan Radit, tentang Rafi yang pernah terpaksa tinggal di
rumah sendirian hingga Maghrib menjelang meski masih duduk di kelas dua SD
karena Mamanya masih bekerja. Ah ya, sebelum resign hampir tiga tahun lalu saya
adalah seorang karyawan swasta yang pontang-panting terutama saat Ramadhan
tiba. Tidak punya pembantu, jarak rumah-kantor 40 kilometer belum lagi jika
terjebak kemacetan maka tak sempatlah memasak, menu berbuka puasa pun
tergantung warung nasi andalan. Sahur? mie instan atau rawon murah meriah adalah
menu utama. Sedih? Tidak juga karena hidup adalah pilihan dan pilihan saya saat
itu adalah bekerja demi melunasi tagihan KPR.
Usai KPR lunas saya
memutuskan untuk berhenti bekerja. Menemani anak-anak di rumah adalah prioritas
utama. Lagipula saya sudah terlalu lelah mengejar bus kota, terjebak kemacetan
terutama selama Ramadhan menambah kuatnya tekad untuk menjadi ibu rumahan 24
jam. Terasa sekali bedanya. Kini saya bisa memantau anak-anak hampir 24 jam. Kebersamaan
terutama saat Ramadhan memberikan kesan campur-campur antara asem, manis, kecut
dan asin. Asem kalau harus bersabar mendengarkan keluhan Rafif dan Raditya
selama berpuasa. Oh ya, Radit kini enam tahun dan mulai belajar berpuasa hingga
Maghrib. Rafi yang sudah berusia 10 tahun masih saja tak tahan dengan godaan iklan
sirup dan ayam crispy di siang bolong hahaha. Berasa manisnya kebersamaan
ketika mereka dan si Papa memuji masakan saya saat berbuka puasa meski hanya
Ikan goreng dan acar bumbu kuning atau fillet ayam bumbu tepung cocol saus
sambal. Kecut dan asin ketika sibuk membangunkan rafi dan radit saat makan
sahur, tak kunjung bangun padahal waktu adzan subuh tinggal setengah jam lagi.
Ah semua itu pasti akan
saya rindukan ketika mereka telah beranjak dewasa dan meninggalkan rumah. Biarlah
kini masa-masa asem manis itu saya nikmati layaknya gurami andalan resto
ternama. Kelak mungkin saya akan merindukan masa-masa mengalihkan perhatian mereka
dari pertanyaan “kurang berapa jam lagi adzan Maghribnya Ma?” Maka kamar tidur
pun menjadi tempat favorit, bisa bersantai sambil berbagi cerita, mendongeng
dan menggali imajinasi mereka.
Ketika waktu berbuka tiba (dan makan sahur
tentunya) ruang tamu yang berfungsi ganda sebagai ruang keluarga dan ruang
makan menjadi tempat favorit berikutnya.
Maklum rumah type 36 yang disekat
menjadi tiga kamar tidur tidak memungkinkan untuk memiliki ruang makan atau
ruang keluarga. Tetapi masih cukup menyisakan sebuah musholla kecil tempat kami
melantunkan doa, merajut asa dan menitipkan angan serta harapan agar terwujud
menjadi nyata pada Sang Pemilik Kehidupan. Ruang kecil tempat saya mengajarkan membaca
Al Quran kepada anak-anak, terasa nikmatnya terutama saat Ramadhan.
Rumah adalah tempat bersemayamnya cinta dan
harapan, ruang menemukan kebersamaan bersama orang-orang tercinta, meniti ruas jalan, menjemput
takdir kehidupan
alhamdulillah, selamat ya mbak...tulisannya menang nih...rumahku istanaku "baiti jannati"
ReplyDeletealhamdulillah terimakasih mba, namanya samaan nih ;)
Delete