Tak terasa sepuluh hari terhitung sejak hari libur santri Gontor semester awal tahun telah berlalu. Banyak cerita-cerita yang saya dapat tentang kehidupan santri hasil mengorek keterangan dari santrinya sendiri hehee. Kapan-kapan insyaAllah ingin menuliskannya dalam postingan tersendiri. Kali ini surat yang tak pernah terkirimkan saya tuliskan, kelak akan menjadi kenangan:
Nak,
kutulis surat ini ketika rindu di hati Mama tak tertahankan. Padahal baru
beberapa hari lalu mengunjungimu di tempat belajar yang baru. Persis seperti
kau pernah katakan “Nanti pasti Mama merindukan aku, menangis jika aku
berangkat mondhok” lalu
dengan gagah aku menjawab “Enggaklah,
untuk apa menangisi anak yang sedang berjuang menemukan hidayah di jalan Allah.
Santri adalah barisan pejuang fisabilillah. Seorang pejuang harusnya didoakan
bukan dilepas dengan tangisan”Ternyata yang kau katakan menjadi kenyataan.
Ada yang hilang dari hati seiring kepergianmu menuntut ilmu.
Mengisi liburan santri dengan menulis kembali mahfudzot, yang bukunya telah pergi :D
Terulang
kembali momen-momen yang menjadi alasan utama mengirimkanmu belajar di pondok
pesantren usai lulus Sekolah Dasar. Tetangga silih berganti datang melabrak
mengatakan kamu sering menganggu anak mereka hingga menangis meraung-raung
(padahal tak ada yang terluka), tutur bahasamu yang tak sopan, perilakumu yang
tidak hormat pada yang lebih tua, adikmu yang sering kau hajar semaumu jika tak
menuruti perintah dan kau pun seringkali berkata dengan nada tinggi dan
memelototkan mata pada kami jika sedang merasa benar sendiri. Hingga
pernah kuseret engkau di depan tetangga untuk meminta maaf karena perilaku tak
sopanmu pada mereka. Berhari-hari aku menangis. Merasa gagal mendidikmu. Gagal
menjadi ibu. Bagaimana perilakumu saat-saat itu bukan kesalahanmu sepenuhnya.
Namun ada jejak-jejak cara mendidik kami yang mungkin tidak pada tempatnya.
Secercah harapan muncul ketika kau bersujud meminta ampun. Namun terulang
kembali kemudian hari. Kupinta pada Illahi solusi yang terbaik untuk masa
depanmu nanti.
"Mondhok
aja ya Nak, menjemput hidayah" pintaku
suatu ketika.Penolakan demi penolakan muncul darimu yang bersikeras ingin
melanjutkan pendidikan di sekolah umum. Engkau merasa dibuang karena dikirim ke
pondok pesantren padahal bukan dari kemauanmu sendiri. Hey hey hey ayolah kalau
ingin membuangmu kami pasti mengirimmu ke penjara anak-anak, gurauku ketika
itu. Nak, hidayah itu mahal harganya. Kami menyekolahkanmu ke pondok pesantren
dengan harapan engkau lebih mengenal dekat Allah. Agar muncul rasa syukurmu
memiliki keluarga lengkap dan para sahabat. Maka dengan sabar kami memotivasimu
tiada henti. Doa-doa pun tiada henti kulantunkan. Agar Allah membukakan mata
hatimu. Supaya engkau tak merasa terpaksa mempersiapkan diri demi menghadapi
test ujian masuk pondok pesantren pilihan. Dan meski kadang dengan sedikit
enggan kau tetap rajin mengikuti kursus bahasa Arab untuk memperkuat persiapan
seleksi calon santri dan bekal menuntut ilmu di pondok pesantren.
Maka
keajaiban-keajaiban kecil mulai muncul. Ketika semangat Ramadhan menggema.
Saat-saat menjelang ujian lisan tiba. Engkau dengan ikhlas belajar di guru
mengaji baru untuk memperbaiki ilmu tajwidmu. Kau pun rajin mengikuti program
takmir masjid di perumahan kita yaitu tilawah untuk anak dan remaja setiap sore
menjelang berbuka puasa. Nak, biarlah kusimpan sendiri air mata haru ini,
ketika mendengar suara parau khas remajamu menggema dari speaker masjid,
melantunkan ayat-ayat Allah dengan tartil dan penuh penghayatan. Berbeda sekali
dengan kebiasaanmu yang semaunya, cengengesan cenderung urakan. Lalu ketika
dengan senyum terukir bangga kau menunjukkan hasil test akhir di kursus bahasa
Arabmu. “aku dapat A- dan A+ Ma, aku siap menempuh ujian tulisan bulan
depan!” serumu saat itu.
Lalu
tibalah hari H. Hari saat ujian lisan tiba. Momen mengharukan pun terjadi
ketika engkau memasuki ruang untuk test lisan di hari yang ditentukan. Ibu
menanti di luar dengan dzikir dan doa-doa yang terjalin bagai merapal mantra,
tiada hentinya. Memandangmu yang tangkas mengangkat telunjuk saat nomor
pesertamu dipanggil untuk memenuhi kewajiban test lisan menimbulkan harapan
bahwa pada akhirnya engkau yakin bahwa belajar di pondok pesantren bukanlah
sebuah siksaan. Tak sampai tiga puluh menit berlalu. Sungguh tak dinyana
ternyata engkau mendapat giliran pertama di test lisan. Senyum yang terkembang
di bibirku bersambut mendung di wajahmu. “Kenapa
Nak kok sedih, sekarang kita sudah bisa pulang?”tanyaku ingin tahu.
Mendadak mendung di wajahmu berubah menjadi tetes-tetes gerimis mengalir dari
kedua pelupuk matamu. “Aku
tadi gugup Ma. Ilmu-ilmu tajwid yang kupelajari hampir semuanya musnah
tiba-tiba. Soal-soal kujawab keliru. Aku takut tidak lulus seleksi ini” Haru memenuhi hatiku seketika. Kau
mulai berpikir ingin membahagian orang tua “Sudahlah Nak, seperti yang
Mama katakan dahulu, andai kau tak lulus seleksi pondok pesantren ini tetap ada
kesempatan mendaftar di tempat lain artinya rezekimu bukan di sini” hiburku “tapi aku ingin mondhok di
sini, perjuangan kita sudah sedemikian besarnya” ujarmu tersedu. Kuambil tanganmu,
kugenggam dalam haru “Kalau
begitu hapus air matamu dulu, masih ada test tulis bulan depan yang layak
diperjuangkan. Andai kita tersisih kita pulang dengan hormat karena telah
berjuang hingga titik darah penghabisan. Terimakasih ya Nak telah berjuang
bersama kami” Ucapku sambil
kemudian menepuk bahu dan mengelus pipimu. Anakku, remaja belasan tahun lulus
sekolah dasar, di balik perilakumu yang keras dan kadang beringas ternyata
tersimpan hati yang lembut membuatku tak mampu menahan kristal bening ini agar
tak meluncur satu-satu.
Ketika
saat pengumuman tiba, kyai pimpinan Pondok Pesantren mengingatkan bahwa pengumuman
itu tidaklah penting. Yang penting wali santri sudah bisa belajar tentang
kehidupan pondok pesantren pada umumnya. Andaipun gagal dunia tak selebar daun
kelor. Di luar masih banyak tempat menuntut ilmu yang tak kalah bagusnya. Dag
dig dug rasa hati ini. Rapal doa tiada henti. Ketika Pondok Kampus 1, 2 hingga
3 tak menyebutkan nomor ujianmu, doaku berganti semoga kami ikhlas dengan
apapun hasilnya. Semoga engkau tegar menerima kenyataan betapapun
pahitnya.
Alhamdulillah!
Saat pembacaan pengumuman santri untuk Pondok Kampus 5 akhirnya nomor
pendaftaranmu disebutkan. Aku bersujud syukur tanpa peduli sekitar.
Terbayang kebahagiaan di wajahmu yang duduk di bawah tenda khusus calon santri.
Benar saja kulihat wajah berbinarmu usai acara sujud bersama. Dan waktu seperti
berlari. Hari itu juga engkau harus diberangkatkan bersama santri yang diterima
di cabang pondok yang sama. Remaja ingusan yang sempat kuragukan dalam sekejap
berubah menjadi pejuang tangguh. Engkau tak mengeluh atau merajuk meski kami
tak bisa mengantarmu hingga pondok tujuan yang ratusan kilometer jauhnya di
ujung timur pulau Jawa. Bukan karena kami tak sayang padamu tetapi jatah cuti
Papa hanya tiga hari dan adikmu mulai tak sehat karena malam terakhir
menunggu pengumuman harus kami habiskan begadang di dalam mobil sewaan. Antara
bangga dan haru melepasmu naik bus untuk menempuh perjalanan jauh. Tersentak
hatiku ketika tiba-tiba kau bersujud di kaki kami bergantian memohon restu.
Nak, empat hari berharga yang merubah dirimu seketika semoga semakin banyak
kebaikan yang engkau terima selama berjuang di perantauan hingga akhir
waktu. Bagaimanapun Mama tetap berusaha gagah dan tak meneteskan air mata
haru saat di depanmu. Sebab perjuanganmu adalah demi mengejar hidayah dan
menuntut ilmu. Masih ingat apa petuah kami? “Belajarlah
untuk istiqomah dan konsisten, tunjukkan pada teman-temanmu, para tetangga yang
sering melabrak Mama karena keusilanmu bahwa kamu tidak seburuk yang
mereka kira. Bahwa kamu tidak nakal hanya terlalu banyak akal. Bahwa kamu punya
potensi tersembunyi”
Bangga
saat melihatmu di asrama senja itu. Betapa engkau bersikap santun terhadap
ustadz dan para seniormu. Bersyukur melihatmu baik-baik saja dan bercanda ria
bersama teman sebaya. Bangga kala mendengar hal-hal baik tentangmu. Papa yang
melihatmu membagikan kue kiriman tanpa kami minta, cerita ustadzmu bahwa kamu
tergolong santri yang sopan, rajin dan bersungguh-sungguh dan mudahnya
menanyakan kamarmu di saat pertama berkunjung karena engkau dikenal sebagai
anak yang ramah dan supel. Apalagi kau rajin berkabar lewat telepon meski hanya
sebentar. "Aku
suka belajar bahasa asing Ma, kelak aku ingin melanjutkan sekolah ke manca
negara dengan beasiswa"ceritamu penuh semangat dari Sambungan Jarak
Jauh, berkisah tentang suka duka bersama teman seasrama. Lalu meluncur beberapa
kata-kata motivasi dalam bahasa Arab dari bibirmu padahal belajar enam bulan
pun engkau belum genap. Nah Nak, benar kan di sini kau akan menemukan
teman-teman baru, teman berbagi suka duka karena sama-sama jauh dari orang tua
dan keluarga tercinta. Jejaka belasan tahunku tampaknya mulai beranjak dewasa,
tak ada keluhan-keluhan untuk meminta pulang keluar dari bibirmu seperti yang
kami khawatirkan. Di umur dua belas kau belajar mengalahkan ego dan mentaati
permintaan orang tua. Di usia belasan kau telah belajar mandiri dan berdikari.
Harapan baru mulai bersemi, perubahanmu menjadi pribadi yang lebih baik
tumbuh perlahan namun pasti. Terimakasih telah membuatku bangga sebagai
ibu, mengingatkan kembali pentingnya berpikir positif selalu.
Nak,
terbanglah tinggi meraih mimpi untuk menjadi pejuang garda terdepan di jalan
Illahi, semoga terwujud cita-citamu mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan
sekolah ke luar negeri. Berharap impian kami untuk melihatmu menjadi anak
shalih dan bermanfaat bagi umat beranjak nyata, kini hingga nanti. Tetaplah tak
lupa berpijak pada bumi agar tak menjadi tinggi hati. Jadilah jiwa yang merdeka
seperti petuah pak kyai bahwa santri adalah insan merdeka, merdeka dari
politisasi, merdeka dari konspirasi yang mengedepankan duniawi. Jadilah santri
yang patuh kepada Allah dan RasulNya, berbakti kepada orang tua dan berbuat
kebaikan bagi sesama tanpa memendam iri dengki.
Nak, tahukah engkau curahan hati ini Mama
kirimkan ke even lomba berharap ada rezeki kita. Mama hanya ingin berbagi
cerita bahwa sebagai Bunda harus senantiasa mendukung langkah ananda, berhenti
berpikir negatif yang pernah Mama lakukan. Andai pun gagal, Mama akan terus
berupaya menjadikan mimpi menjadi nyata, bahwa kisah ini akan sampai pada hati
para pembaca (nah karena tak kunjung berjodoh dengan lomba mana saja lebih baik Mama tuangkan di blog pribadi). Bahkan sehelai daun yang jatuh pun tak lepas dari takdirNya.
Begitu pula halnya dengan setiap ikhtiar yang kita lakukan. Selalu ada
kesempatan kedua bagi kita berdua, asal sungguh-sungguh berusaha.
Seperti halnya yang engkau jalani hari ini Mama pun sedang menata kembali hati yang pernah porak poranda karena ketidaksempurnaanku sebagai makhluk ciptaan Illahi. Genggam asamu jangan pernah berhenti. Doa kami senantiasa menyertai. Terimakasih telah mengajarkanku untuk tak pernah lelah berupaya menjadi lebih baik lagi agar tak menjadi insan merugi
aduh aku nangis, ngebayangin anakku. Hampir sama, anakku suka ngusilin anak tetangga smpe nangis, dan aq berpikir mau kirim dia ke pesantren supaya ketemu guru yg bisa membimbing
ReplyDelete