17 Agustus tahun 1945 itulah
hari kemerdekaan kita, hari merdeka nusa dan bangsa hari lahirnya bangsa
Indonesia…merdeka…
17 Agustus 2015 Indonesia
berusia 70 tahun sudah....merdekaa!! Bukan usia muda tetapi tak juga terlalu renta. Terbayang
perjuangan para pahlawan yang rela bertaruh nyawa demi meraih kemerdekaan
Indonesia, sebuah tindakan nyata atas nama cinta. Kini saatnya bagi kita
membuktikan kecintaan pada Indonesia raya. Bagaimana caranya? Tentu dengan
segenap upaya mempertahankan kemerdekaan, mengisi kemerdekaan dengan karya
nyata termasuk mencintai dan menggunakan produksi dalam negeri, menjaga
kelestarian alamnya. Indonesia terkenal sebagai negeri nan elok
panoramanya. Gunung, lembah, pantai, laut, danau, sungai seolah menjelma
menjadi perhiasan tanah surga. Tak terhitung kebudayaan bangsa berupa tarian,
lagu daerah, alat musik tradisional dan bangunan bersejarah.
Berkelana
dari satu tempat wisata ke tempat wisata lainnya di Indonesia tak akan
pernah membosankan. Jalan-jalan tidak hanya bersifat rekreatif namun juga mampu
membangkitkan nasionalisme dan semangat kebangsaan. Betapa tidak, keindahan panorama
Indonesia yang disaksikan membawa pikiran berimajinasi tentang bagaimana Tuhan
menganugerahkan bangsa ini keindahan surgawi, mungkin Dia menciptakan Indonesia
dalam situasi penuh cinta, semoga saja saat ini Ia tak sedang murka, bumi
yang diciptakan penuh keindahan kini sedang merana karena kerusakan lingkungan dan angkara. Menyadari
keindahan alam nusantara menggugah kesadaran bahwa cinta padamu negeri tak
sekedar syair lagu belaka dan tak akan pernah lekang dimakan usia.
Sebaliknya
berkeliling negeri tercinta ini bisa melunturkan nasionalisme jika menemukan
berbagai kondisi yang mengecewakan. Cinta dan sebal dalam satu kesempatan
pernah kami alami dalam satu perjalanan ke Borobudur tahun lalu.
Berwisata
adalah kesempatan mahal buat kami. Kondisi finansial keluarga tidak
memungkinkan untuk rutin berekreasi. Bersyukur tahun 2014 lalu kami diberi
kesempatan mewujudkan impian mengunjungi Borobudur. Meski perjalanan ditempuh dengan naik kereta ekonomi
Logawa dari stasiun Sidoarjo hingga stasiun Lempuyangan Yogyakarta namun tubuh tak terasa
lelah. Pemandangan alam berupa hamparan sawah adalah hiburan sepanjang jalan.
Sejauh mata memandang seolah melihat permadani hijau terhampar. Kereta cukup nyaman tak ada sampah berserakan karena setiap meja disediakan kantong sampah.
Petugas kebersihan pun sigap memungut sampah dan membersihkan kereta setidaknya
sekali dalam perjalanan yang memakan waktu lima jam.
Tiba di stasiun
Lempuyangan dan disambut sopir-sopir taxi atau mobil sewaan yang ramah membuat
kami bangga sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Yogyakarta adalah kota yang
ramah, harga makanan terjangkau bagi semua kalangan. Ingin makan murah dan
suasana Yogyakarta yang gegap gempita, susurilah jalan Malioboro di tengah
kota.
Malioboro terkenal
sebagai tempat berbelanja oleh-oleh murah meriah. Beragam oleh-oleh khas
Yogyakarta bisa ditemukan di sini. Anak-anak bisa belajar tentang kebudayaan
bangsa dari aneka kerajinan tangan hingga miniatur gamelan, batik dan aneka
asesoris unik bisa diperoleh dengan harga murah.
Ssst tapi harus pandai
membandingkan harga. Sebagian besar pedagang menjual produk dagangannya lebih
dari dua kali lipat harga wajar. Duh, jadi merasa sedikit tertipu jika terlanjur
membeli produk yang sama di kios yang terlalu mahal. Rupanya asas kapitalisme sudah mulai
menjalar, mengikis kejujuran bangsa Indonesia yang dulu dibanggakan. Tetapi
rasa takjub sebagai bangsa Indonesia kembali muncul ketika menyadari betapa
murahnya harga makanan di sini. Nasi “kucing” di angkringan dijual hanya
sekitar lima ribu rupiah lengkap dengan lauknya. Ongkos naik becak dari
Malioboro ke pusat jajanan dan oleh-oleh membuat kami membelalakkan mata, murah
sekali? Jarak sedemikian jauhnya hanya sepuluh ribu pulang pergi? Hebat sekali
orang-orang Indonesia ini meski terhantam inflasi tetapi tetap bisa bertahan
hidup tanpa tergiur kemewahan dan merasa cukup dengan berapapun penghasilan.
Nasionalisme
yang tiba-tiba terbakar sempat meredup karena perjalanan ke Borobudur.
Perjalanan kami bertepatan dengan jadwal kampanye salah satu partai politik.
Konvoi kendaraan bermotor membuat macet jalanan ditambah raungan knalpot yang
memekakkan membuat perjalanan kami terasa menyebalkan. Butuh waktu hampir 3 jam
hingga sampai di tujuan.
Sesampai
di Borobudur rasa sebal terobati, haru dan bangga berbaur di dalam hati. Bangga karena berabad lampau nenek moyang kita mampu membangun candi semegah ini tanpa bantuan teknologi. Betapa gigih perjuangan mereka mewariskan kebanggaan pada anak cucunya. Pemandangan
Merapi dan Merbabu di kejauhan seolah menjadi saksi kemegahan masa lalu yang
bisa dinikmati hingga saat ini. Memantik tanya apa yang kelak akan kita wariskan dan tercatat dalam sejarah kegemilangan bangsa?
Sayang situasi Borobudur yang ramai pengunjung membuat
hati sedikit mendung. Banyak dari para pengunjung membuang sampah sembarangan.
Bungkus makanan, botol air minuman dalam kemasan berserakan hampir di sepanjang
undakan. Hati saya pedih, bukankah candi adalah tempat ibadah dan warisan
kebudayaan juga? Mengapa tak bisa menghargai keberadaannya? Inikah Indonesia
kita?
Perjalanan
singkat dua hari satu malam itu menyisakan banyak kenangan. Hanya Borobudur
tempat wisata yang bisa kami kunjungi dengan mobil sewa seharian karena pulang
dan pergi terjebak kemacetan. Nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa
Indonesia bisa pudar oleh hal-hal yang menimbulkan kekecewaan. Bangga karena
Indonesia adalah negeri yang elok panorama dan kaya budaya luntur karena
perilaku yang tak menunjukkan budaya malu. Membuang sampah sembarangan,
bertindak seolah raja jalanan dan menyebabkan kemacetan hanya untuk pawai
kendaraan adalah bukti nasionalisme mulai kendur. Banyak orang sekedar bersenang-senang tanpa peduli menjaga lingkungan. Menyaksikan hal-hal yang tidak pada tempatnya ini terus terang membuat kebanggaan saya sebagai bangsa Indonesia turut luntur. Bagaimanapun perjalanan ini adalah
sebuah pembelajaran bagi anak-anak saya, pentingnya menanamkan kebanggaan
sebagai bangsa Indonesia dengan segala keanekaragaman budaya, memupuk rasa
nasionalisme dengan menjaga kebersihan lingkungan dan menanamkan cara
berperilaku menghormati sesama sebagaimana mestinya sikap bangsa yang
berbudaya.
“Indonesia
tempat lahir beta pusaka abadi nan jaya, Indonesia sejak dulu kala tetap dipuja-puja
bangsa’
‘Tulisan ini disertakan dalam lomba ‘jalan-jalan nasionalisme’ yang diadakan Travel OnWego Indonesia
FB : Dwi Aprilytanti Handayani
Twitter : @Dwiaprily
IG : dwi.aprily
Email : dwi.aprily@Yahoo.co.id
langsung ke TKP nih aku mak
ReplyDeleteheheh
oya biasanya di halaman candi banyak pedagang salak tuh mak
salak pondoh mak,,,saya juga suka hehe
Deleteaku suka naik sepeda di sekitar candi borobudur tuh mak.. asyikkkk.. ada sepeda tandemnya
ReplyDeleteoh ya kah Mak ? saya ga sempat menikmati hal-hal lainnya padahal ada kereta wisata keliling juga. Antriannya puanjaanggg
DeleteAku malam belum pernah ke sana, huhuhu...
ReplyDeletembak Leyla malah sudah jalan-jalan keliling Bali, lebih jauh dari Yogya hehehe....ntar kapan2 mudah-mudahan bisa menyaksikan Borobudur dari dekat :)
ReplyDeleteJadi kepengin ke Borobudur nih mba, sudah sejak es em a kelas 2 (th 94) kesononya ..hehehe ketauan umurnya nih :D
ReplyDeletesaya pengen ke Borobudur sejak SD mbak Christanty ....eh kesampaian pas sudah punya anak yang duduk di bangku SD..Tahun 94 saya baru masuk kuliah, nah lo lebih tuaan saya hahaha
Deleteaku kepingin juga main ke borobudur ni mbak ... kapan ya bisa kesana
ReplyDeleteasyiknya bisa jalan jalan ke borobudur, tapi sayang masih banyak yg buang sampah sembarangan
ReplyDelete