“Life
begin at forty” begitu kata orang. Dulu saya tak paham
dengan makna kalimat tersebut. Kini mata saya terbuka bahwa ketika menginjak
usia 40 maka seseorang telah kenyang pengalaman hidup sehingga ia
bisa memaknai arti kehidupan itu sendiri. Usia saya saat ini 39 artinya jika
disesuaikan dengan kalimat tersebut maka tahun depan kehidupan saya baru akan
dimulai.
Sejenak saya merenung tentang kehidupan. Ternyata sebagian besar waktu habis
untuk ketakutan dan kekhawatiran. Masa kecil saya tak bisa dibilang beruntung
tak juga terlalu mengenaskan. Kami bukan keluarga berada, Mama hanya ibu rumah
tangga biasa dan Papa pegawai rendahan. Ketika Papa meninggal di umur 50 saat anak-anaknya
masih usia sekolah saya pun mulai dilanda kekhawatiran apakah kami akan
dititipkan di Panti Asuhan demi menamatkan sekolah. Apakah saya sanggup
melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi agar lebih mudah mendapatkan peluang
bekerja. Kekhawatiran tersebut hilang ketika segala jerih payah dan hidup
prihatin yang kami jalani terbayar dengan gelar sarjana di tangan. Tak kunjung
mendapat pekerjaan usai lulus menimbulkan kekhawatiran baru bagaimana jika hidup
saya berakhir sebagai pengangguran. Ketika akhirnya karir sebagai staf administrasi
saya dapatkan setelah setahun bekerja serabutan di tambak ikan disitulah terasa
bahwa kekhawatiran perlu dienyahkan.
Cita-cita tergenggam
bukan berarti segala ketakutan hilang. Ketika tiba waktu berumahtangga saya
dilanda ketakutan: mampukah saya menjadi istri yang baik, bisakah suami menafkahi
secara berkecukupan, mampukah kami membeli rumah agar tidak berpindah-pindah
tempat kost atau kontrak. Kekhawatiran-kekhawatiran menghilang perlahan ketika rumah mungil type 21 milik sendiri menjadi
hunian pertama, bahkan kami masih sanggup membayar angsuran motor ketika suami
terPHK untuk pertamakali dan jobless berbulan-bulan. Bahkan kelak akhirnya kami
pindah ke rumah yang lebih layak setelah delapan tahun langganan kebanjiran di
rumah sederhana.
Oh ketakutan, masih terus
menghantui. Saat anak pertama lahir dan menderita delay speech saya khawatir luar biasa hingga sempat melakukan
langkah tak masuk akal, membawanya ke paranormal. Siapa sangka si sulung di
kemudian hari bahkan lancar membaca dan menulis sebelum usia sekolah dan tumbuh
menjadi anak yang kritis dengan berbagai pertanyaannya.
Tak cukup di sini,
ketakutan seolah menjadi teman setia. Usai melahirkan anak kedua saya mulai
berpikir berhenti bekerja, lelah dan ingin menemani anak-anak di rumah. Tetapi bagaimana
dengan angsuran rumah yang besarnya separuh gaji lalu apakah suami saya bisa
mandiri? Saya bersabar hingga sisa KPR tertutup dengan tabungan. Kekhawatiran terbesar
saya terjadi. Suami saya terPHK, jobless dan terjadi beberapa kali usai saya
berhenti bekerja. Hidup terasa semakin sempit tetapi kami bertahan. Tak ada yang
mengira di usia 40, terhitung nyaris tak produktif suami diterima bekerja di
instansi ternama, sungguh sebuah keajaiban yang pernah dinyana.
Kini saatnya saya
#BeraniLebih berani. Saya bertekad berani bermimpi meski kaki tetap menjejak bumi. Saya tak mampu memprediksi sisa usia tetapi saya tak ingin
ketakutan dan kekhawatiran kembali melanda. Dari perjalanan hidup penuh liku
saya dapatkan pelajaran bahwa di balik kesulitan ada kemudahan, ketika pintu
tertutup masih ada kisi-kisi dan tak ada yang benar-benar terkatup. Sebuah rintangan
bisa dipandang sebagai halangan atau tantangan tergantung dari cara berpikir
layaknya memandang gelas separuh berisi, apakah half full atau half empty.
FB : Dwi Aprilytanti Handayani
Twitter : @dwiaprily
Email : dwi.aprily@yahoo.co.id
Semangat Mbak...
ReplyDeleteSemoga menang :)
aamiin makasih mbak Tatit :D pengkomen pertama dapat gelas cantik ya xixixixi
DeleteCerita yang inspiratif sekali. mungkin banyak pengalaman yang hampir sama
ReplyDeletesalam kenal mbak Reni, banyak pengalaman sama dan waktu yang menjawabnya :)
Delete