Judul :
Teatrikal Hati
Penulis : Rantau Anggun dan Binta Al Mamba
Penerbit : Penerbit Quanta – PT Elex Media Komputindo
Genre : Novel Islami
Cetakan Pertama : 2013
Tebal : 342 halaman
ISBN : 978-602-02-2627-9
Sebuah
Cerita tentang Empat Wanita
Pernah membaca novel yang
mengisahkan perjalanan hidup empat wanita yang ditulis dua penulis wanita ?
rasanya seperti menikmati hidangan aneka rasa, manis, asam, gurih, asin.
Teatrikal Hati merupakan novel dalam format sedikit berbeda dengan yang beredar
di dunia literasi selama ini. Dibuka dengan prolog tentang pemilihan setting
dan tema, novel besutan Rantau Anggun dan Binta Al Mamba sempat membuat
penasaran dan bertanya-tanya mengapa pembaca harus menelusuri kisah empat
wanita yang berbeda, seperti membaca cerita pendek yang dirangkum dalam sebuah
buku. Hingga akhirnya pelan-pelan benang merah mulai menyatukan satu
persatu jalinan kisah ketika Zahra Azkia
mulai menjalankan misi memproduseri sinetron bergizi bagi para penikmat televisi
terinspirasi dari catatan harian sang Mama dan novel Lelaki Hatiku sebagai
sumber ide cerita.
Adalah Zahra Azkia, seorang
wanita menjelang tiga puluh yang merintis karir dari seorang artis menjadi
produser kreatif di Tropical Entertainment, sebuah production house yang hampir
selalu menghasilkan sinetron berating tinggi. Linda Arum, dikisahkan sebagai
penyiar radio dan penulis novel yang merindukan kehadiran anak dalam rumah
tangganya yang berjalan monoton nyaris tanpa getar romantika cinta. Gwen
Saputri, arsitek wanita yang melesat dengan karirnya namun memiliki trauma masa
kecil yang membuatnya membenci lelaki sehingga menghindari pernikahan sepanjang
hidupnya dan Setyani, kembang desa, putri seorang ulama yang dijodohkan dengan Harjun
Notodiningrat, seseorang yang nyaris tak punya kebaikan sedikitpun dibandingkan
kemuliaan seorang Setyani.
Zahra Azkia adalah potret
muslimah masa kini, cerdas, kreatif, mandiri hingga cukup menyiutkan nyali bagi
pemuda yang berniat menyuntingya, adalah Fardan yang menjadi sosok yang sering
dijodohkan dengan Zahra oleh rekan-rekan mereka, namun tanggapan dingin Zahra
seolah membuat langkah Fardan surut ke belakang, adakah Fardan dan Zahra
berhasil mewujudkan harapan teman, keluarga agar mereka bersatu dalam sebuah
biduk rumah tangga bahagia ? . Linda yang nyaris putus asa atas tak kunjung hadirnya seorang anak yang begitu didambakan akankah menyerah pada takdir dan menghabiskan masa tua tanpa menikmati masa-masa menjadi ibu yang sangat berharga ?. Sementara itu akankah Gwen memutuskan tak kan pernah menikah akibat memendam luka masa kecil akibat perlakuan sang ayah hingga membuatnya membenci lelaki ? lalu siapakah sebenarnya Setyani, apa yang membuatnya memutuskan menjadi wanita pasrah tanpa ada kehendak untuk memperjuangkan kebebasan dari lelaki yang tak patut dipertahankan ? waktu yang akan menjawab semua pertanyaan pembaca seiring cerita
demi cerita membingkai Teatrikal Hati tercipta tanpa jeda.
Teatrikal Hati menarik untuk
dibaca karena menyoroti tayangan sinetron dewasa ini yang terjebak dengan
hedonisme dan tidak memberikan pesan moral yang bermanfaat bagi para pemirsa.
Kedua penulis tampaknya sangat gelisah dengan trend tontonan televisi saat ini
yang didominasi hal-hal vulgar, film-film pendek yang hanya menyajikan adegan
percintaan, kekerasan hingga acara campur baur yang tak jelas ujung pangkalnya.
Sayangnya dengan ide yang menyentil pentingnya suatu tontonan bermutu bagi
pemirsa televisi, Teatrikal Hati nyaris terbawa pada tema cerita sinetron pada
umumnya, dimana Harjun Notodiningrat digambarkan sangat sempurna sebagai sosok antagonis, pemabuk,
kasar terhadap istri, playboy flamboyan yang suka main perempuan sementara
Setyani begitu sempurna dan sangat berbakti kepada suami, taat, patuh luluh
meski dihujani pukulan tetap bersabar tanpa niat meminta cerai meski berpuluh bahkan
beratus wanita datang dan pergi dari kehidupan sang suami. Fenomena ini sering
muncul sebagai tema sinetron tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, membuat
gemas bagi yang menyaksikan sekaligus menyebabkan pembaca Teatrikal Hati bertanya-tanya
apakah di zaman Setyani – Harjun, di desa sebuah kota santri perilaku asusila
Harjun tak mendapat sangsi dari masyarakat ? namun justru dari ketidakwajaran hubungan inilah kisah Teatrikal Hati mengalir sempurna. Mungkin kita sendiri tak sadar
bahwa hingga saat ini masih banyak istri yang mendapat perlakuan tak pantas
dari suami tanpa mengerti harus mengadu kepada siapa. Namun Teatrikal Hati
tetap memikat dalam menampilkan wanita dalam karakter serta perjalanan hidup di
masa yang berbeda melalui alur cerita berselang-seling antara flashback dan
masa kini.
Teatrikal Hati layaknya kisah
kehidupan, ada tangis dalam hidup Setyani, miris akan trauma yang harus dialami
Gwen, kehampaan dalam kehidupan Linda sekaligus tawa canda Zahra Azkia dan rekan-rekannya
menyadarkan kembali akan kodrat seorang wanita betapa tinggi prestasi dan karir
yang dicapainya selalu terbersit harapan untuk melabuhkan hati pada seorang
pria, membangun mahligai rumah tangga impian dengan hadirnya anak-anak sebagai
pelengkap kebahagiaan serta menuntut kesetiaan seperti kata hati Gwen di
halaman 158 “Dan yang paling penting. Aku
hanya ingin kesetiaan. Aku ingin menjadi satu-satunya dalam hidup seorang
lelaki. Tanpa sambilan atau sampingan.
Tertarik membaca novel ini ? silahkan berburu ke toko buku jangan lupa ikut lomba resensinya sebab Resensi ini diikutsertakan dalam lomba resensi buku BAW dan QuantaBooks
makasiih mbak, sudah sempatkan baca dan buat resensinya. Moga beruntung :)
ReplyDeleteMakasih kembali mbak Anggun, barokallahu :)
ReplyDeletemakasih mbak dwi.. maaf baru mampir.. tulisan mbak dwi selalu "teduh' deh dibacanya :)
ReplyDeletembak Binta, yang teduh itu pas baca Teatrikal Hati, dan menyaksikan senyum manisnya hehehe
ReplyDeleteNovel yang sangat menyentuh.. Kita diajak melihat sisi luar dan sisi dalam setiap tokoh dalam cerita nya.. Kita di ajak menembus ruang dan waktu masa lalu dan masa kini setiap tokohnya. Novel yang sangat luar biasa..
ReplyDelete