![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGirqCToE_8D1KXtszD_Yau2vwZ9By_pX6Oh-Bxxiy7QFAWVf8XtA2hCsX50hC8wfol-_Dlbm5abwJY92AnorPdtCtsq7NCxpMVYdw8Ujp1fCX0nWPuBEgX9pW49QXZm2b3JDeF0FnObQ/s320/banner+2.jpg)
Mother is A Transformer,
rasanya ungkapan itu paling cocok buat saya. Setelah menjadi ibu saya merasa
mengalami perubahan signifikan termasuk perubahan berat badan. Tidak hanya
mengalami transformasi finansial tetapi juga semangat spiritual. Orang-orang yang
pernah mengenal masa kecil saya pasti kaget melihat saya sekarang : kok bisa
gemuk, kok jadi ceriwis? Ya iyalah lha saya dulu lebih dikenal sebagai anak
ceking, pendiam cenderung kuper sekarang menjadi emak beranak dua dengan berat
badan naudzubillah dan cerewetnya “Oh My God” punya. Apakah saya menyesal
dengan perubahan ini. Tidak, hidup adalah proses dan perubahan yang mungkin tak
terpikir sebelumnya. Semua yang terjadi nikmati saja.
Transformasi yang saya
alami mungkin adalah bagian dari proses agar saya lebih memahami hakekat hidup
ini. Perubahan yang saya alami tidak terjadi seperti main sulap, baca mantra
hap hap lalu berubah dalam sekejap namun melalui tahapan yang setiap prosesnya
saya nikmati sepenuhnya. Senangnya berpartisipasi dalam #Bundafinaufara1stGiveaway adalah saya bisa
bernostalgia tentang masa kecil, remaja hingga menjadi bunda.
Masa Kecil
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmw4D8dg5HyskV6XD1rxGgPoGVNLsDlADgVjeyEHt5FzwPWVm2GjNPiDtZG5IT2zXQxszgObrM0t8-6wPZRWJuaAb2qakOIYP-QwbAgGd2F-G18CP446B0wgARpJm1NMcXKGec04DKiG8/s320/120420131485.jpg)
Dalam benak kembali terbayang masa kecil yang cukup
menyenangkan namun saya tergolong anak yang kuper dan minder. Hanya beberapa
teman dekat yang bisa bergaul erat dan saya sering grogi, tak mampu berkata-kata di
depan orang yang belum saya kenal. Hiks bahkan saya tak berani meminta kembali gelang
monel hadiah dari kakek ketika terjatuh di halaman sekolah dan dipungut orang
lain tepat di depan mata.
Masa Remaja
Meski dikenal sebagai sosok pendiam dan kutu buku tetapi
keluwesan saya dalam bergaul lebih baik dibandingkan masa kecil. Ketika duduk
di bangku sekolah SMP dan SMA saya memiliki beberapa sahabat yang terkadang
masih saling sapa dan mengunjungi hingga saat ini. Rasa syukur tersemat dalam
hati mengingat masa remaja yang cukup berprestasi. Selama duduk di bangku SMP
saya mampu meraih rangking satu dan ketika menginjak kelas dua sempat mencicipi
hadiah bebas uang SPP sesuai kebijakan sekolah saat itu bagi peraih prestasi.
Kurus, pendiam, kutu buku seolah menjadi trade mark saya saat
itu. Meskipun demikian bukan berarti menjadi sosok introvert yang penakut.
Sekolah SD dan SMP yang 5 kilometer jauhnya dari rumah saya tempuh dengan
bersepeda. Bahkan saat duduk di kelas 5 SD saya sempat mengalami kecelakaan dan
menderita gegar otak ringan dan menyebabkan sering menderita sakit kepala
hingga sekarang.
Selama SD hingga SMP hampir selalu meraih rangking satu tentu
kenangan yang membahagiakan apalagi ketika DANEM saya sempat menjadi nomor
empat sekotamadya ketika lulus SMP dan masuk 10 besar di SMA favorit. Meski demikian saya tetaplah Yeni – panggilan buat saya dari orang rumah - yang
pemalu dan tidak banyak bicara. SMA favorit di kota kecil kami saya tempuh dengan
berjalan kaki, menyusuri pematang sawah dan selalu gemetaran ketika bertemu
ular sawah atau harus berlari-lari untuk menyingkir dari rel ketika peluit
tanda bahwa kereta segera melintas terdengar dari kejauhan.
Masa SMA inipulah saya mengenangnya sebagai masa duka. Ayah
meninggal dunia ketika saya duduk di kelas dua. Sejak saat itu kondisi keluarga
kami berubah drastis. Dari keluarga sederhana yang pas-pasan menjadi kekurangan
karena ibu adalah ibu rumah tangga biasa tanpa penghasilan. Untuk biaya sekolah
ibu menjual separuh pekarangan rumah dan terpaksa meminta bantuan seikhlasnya
pada kerabat yang bersedia memberikan bantuan. Bertahun-tahun ibu menerima
sumbangan ala kadarnya dari sepupu dari pihak ayah dan paman adik kandung ibu.
Hidup dalam keterbatasan tidak membuat kami patah semangat
dalam menempuh pendidikan. Adik lelaki saya diterima di pendidikan kedinasan,
adik perempuan saya menuntut ilmu di Sekolah Menengah Farmasi di Surabaya dan saya
berhasil lolos UMPTN di sebuah universitas terkemuka di kota Malang. Alhamdulillah saya berhasil mendapatkan beasiswa sejak duduk di tingkat II hingga lulus di tahun keempat
kuliah. Kost-kostan saya lumayan jauh dari kampus demi mencari tarif murah.
Saat itu sekitar tahun 1994 tarifnya sekitar 20 ribu rupiah setiap bulan. Uang
saku saya berasal dari hasil penjualan pekarangan rumah yang dibayarkan secara
bertahap oleh pembelinya. Berbekal 75 ribu sebulan padahal 20 ribu untuk membayar sewa
kamar artinya saya harus mampu bertahan hidup dengan 55 ribu. Nasi bungkus 400
rupiah atau mi instan adalah menu saya sehari-hari. Bagi saya makan cukup dua
kali sehari asal tetap bisa hidup saja dan sesegera mungkin meraih gelar
sarjana.
Hidup jauh dari Ibunda, keterbatasan biaya mungkin menjadi
salah satu faktor penguat motivasi bagi saya untuk berubah menjadi semakin
lebih baik. Di dunia perkuliahan saya mengenal lebih banyak teman dari berbagai
kalangan. Saya juga dituntut aktif dalam organisasi kampus atau kegiatan
kemahasiswaan demi syarat mendapatkan beasiswa. Kemungkinan aktivitas di kampus
ini pula yang perlahan mengubah saya menjadi pribadi yang lebih terbuka dan
lebih supel dalam bergaul.
Tebak, manakah saya?
Masa Dewasa
Saya berhasil meraih gelar sarjana setelah 4 tahun menuntut
ilmu. IP (Indeks Prestasi) 3,21 untuk lulusan Fakultas MIPA, Jurusan Kimia saya
pikir menjadi bekal yang berharga bersaing di dunia kerja. Ternyata perkiraan
ini salah. Cita-cita sebagai karyawan tak kunjung kesampaian. Saya pun sempat
bekerja serabutan di tambak ikan. Selain membantu pekerjaan mengurus tambak saya juga memberikan les bahasa Inggris bagi anak
sulung ekspatriat Taiwan sebagai pengelola tambak ikan. Setahun kemudian barulah saya diterima bekerja di perusahaan pelayaran internasional dengan gaji 500
ribu sebulan. Pernah terlintas pikiran: ternyata ilmu Kimia yang saya dapatkan
di bangku kuliah terbuang percuma karena yang dibutuhkan dalam pekerjaan saya
adalah kemampuan berbahasa asing dan keterampilan komputer. Namun lebih baik
menghibur diri sendiri dengan memahami bahwa jalan hidup adalah takdir yang tak
bisa dipungkiri dan harus disyukuri.
Saya menikah di usia 25 tahun. Suami saya adalah teman di
lokasi Kuliah Kerja Nyata saat masih kuliah (eh iya ini juga salah satu hal
yang membuat saya tak perlu merasa kuliah yang sia-sia karena dengan menuntut
ilmu di bangku kuliah saya jadi ketemu jodoh hehehe). Kondisi keuangan kami
sebagai pasangan muda tak dapat dikatakan sempurna meski juga tidak kekurangan.
Suami saya bahkan sempat terPHK di usia dua tahun pernikahan kami. Sepanjang 14
tahun pernikahan sang suami mengalami Pemutusan Hubungan Kerja sebanyak 7 kali.
Sungguh kehidupan berumahtangga yang lengkap pasang surutnya tapi berat badan tak kunjung surut juaaa.
Oh iya, tentang berat badan. Saya juga heran nih, semasa kuliah
berat badan saya paling bangter 44 kilogram dengan tinggi 160 cm, kini sebagai
ibu dari dua anak berat badan saya mencapai 68 kilogram padahal tinggi badan
tidak berubah. Sebuah “prestasi” tersendiri hihihi.
Masa dewasa alias masa-masa menjadi ibu juga merupakan masa titik balik yang sangat berarti sebab saya merasa lebih dekat dengan Illahi. Dengan sedikit malu-malu saya mengakui bahwa saya baru mengenakan jilbab sekitar 5-6 tahun lalu ketika kami baru menempati rumah baru setelah 8 tahun bertahan di rumah yang langganan kebanjiran. Saya memutuskan mengenakan jilbab saat menyadari bahwa karunia Allah begitu besar namun perintahNya yang mewajibkan untuk menutup aurat tak kunjung saya jalani dengan benar. Semoga saya bisa istiqomah mentaati perintahNya dan menjadi insan yang lebih baik lagi dari hari ke hari.
Masa dewasa alias masa-masa menjadi ibu juga merupakan masa titik balik yang sangat berarti sebab saya merasa lebih dekat dengan Illahi. Dengan sedikit malu-malu saya mengakui bahwa saya baru mengenakan jilbab sekitar 5-6 tahun lalu ketika kami baru menempati rumah baru setelah 8 tahun bertahan di rumah yang langganan kebanjiran. Saya memutuskan mengenakan jilbab saat menyadari bahwa karunia Allah begitu besar namun perintahNya yang mewajibkan untuk menutup aurat tak kunjung saya jalani dengan benar. Semoga saya bisa istiqomah mentaati perintahNya dan menjadi insan yang lebih baik lagi dari hari ke hari.
Kita mungkin tak dapat kembali ke masa lalu, memperbaiki yang keliru
menjadi yang benar seperti seharusnya, mencegah perbuatan salah menjadi lebih lurus dan
barokah namun setiap tahapan kehidupan pasti membawa hikmah dan pelajaran agar kesalahan yang sama tak pernah terulang.
"Tulisan ini diikutkan dalam Bundafinaufara 1st Giveaway"
masih mending mba 44 kg waktu kuliah, saya malah cuma 39 kg hihi... saya emang ceking :)
ReplyDeleteHahay saya juga terlihat super ceking dengan tinggi 160 cm berat 44 kg mbak Santi :)
DeleteHihi..prestasi kita sama kalo soal berat badan mbak..dulu saya cuma 42 kg, sekarang 70 kg..wkwkwk
ReplyDeletemakasih sudah ikutan GA saya ;)
whahahah toss mbak :D
Delete