catatan seorang ibu, wanita, hamba sahaya yang ingin berbagi pikiran dengan dunia

In The Time Of Corona

Tiba-tiba si Mas sudah mau ujian akhir semester saja. Sepertinya baru kemarin ia balik pondok di tengah pandemi corona. Dan kemungkinan besar, dari kabar-kabar yang beredar tahun ini tak ada perpulangan liburan 10 hari usai ujian lisan dan tulis seperti tahun-tahun sebelumnya.

In the time of corona, saya pilih judul itu saja, mewakili yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Ketika pondok tertutup untuk kunjungan wali santri. Yang biasanya setiap hari Jumat membuat parkiran di Bapenta di Gedung Satelit tak pernah sunyi. 

Ah jadi teringat, penduduk sekitar juga pasti terkena imbasnya. Para tukang ojek yang biasa stand by mengantarkan wali santri ke terminal, ke kota atau kemana saja. Penjual roti bakar, toko-toko di dekat Satelit yang kadang untuk bayar pembeliannya harus melalui antrian bagai antri sembako gratis karena ramainya.

Teringat wajah-wajah sumringah para santri saat mendapat undangan makan bersama, celoteh riang dan kegembiraan terpancar dari wajah mereka. Terkadang meminjam handphone untuk berkomunikasi dengan orang tua nun jauh di sana.

Tetapi saat ini kita semua memang harus puasa, in the time of Corona...

Kini grup-grup wali santri di medsos ramai oleh curahan hati, dari para wali santri yang sekadar ingin mengungkapkan kerinduan. Terutama para wali santri baru, atau para wali santri yang terbiasa setiap bulan berkunjung ke pondok.

Kalau untuk mereka yang memang jarang berkunjung mungkin tak ada bedanya. Yang penting komunikasi tetap terjaga, karena santrinya rajin memberikan kabar melalui wartel pondok.

Kami, tergolong yang mana? dibilang sering berkunjung juga enggak, dibilang santrinya sering telpon juga enggak hehehe. 

Biasanya kami berkunjung ke pondok dalam satu semesternya 1-2 kali, terutama menjelang ujian seperti sekarang. Sekadar memberikan dukungan moril, doa secara langsung dan tentu juga amunisi gizi dan camilan.

Biasanya, saya sempatkan mencium ubun-ubunnya, membisikkan dzikir hauqallah La haula wala quwwata illa billahil aliyil adzim, sholawat dan ucapan doa barokallahu laka"

Tapi, in the time of corona, biarlah saya tumpahkan doa itu di atas sajadah. Ketika bersujud, saya titipkan doa itu kepada Sang Maha Kuasa, saat menyentuh wangi sajadah seolah seperti sedang mencium ubun-ubunnya....



Melihat curhatan melow para wali santri, menjadi ide bagi saya menuliskan catatan singkat seperti ini:

"Tiga bulan tak terasa..

Dan mungkin hingga beberapa masa..

Tanpa foto-foto, tanpa video call yang menampakkan raut wajah

Hanya suara..

Itupun belum tentu sebulan sekali, sesempatnya Ananda..

Namun yang tak pernah lupa

Adalah doa...

Sebab doa merekatkan yang renggang karena waktu dan ruang

Melapangkan yang menyesakkan.

Toh masih di Indonesia.

Belum Madinah, Cairo, Turki atau Yaman nun jauh di sana..

Atau entah di sudut hamparan bumi yang mana..

Demi memperjuangkan menegakkan syiar kalam Allah Yang Maha Mulia..

Perjuangan masih panjang, wahai...

Bukan saatnya terbuai rindu dendam dan berandai-andai.

Sedikit saja lengah, anyaman mimpi dan cita-cita akan terburai..

Satu nasihat dari kyai kita, yang membuat wali santri berlapang dada , adalah: jika ingin anaknya kuat, orang tuanya harus lebih kuat. ..

Semoga kita selalu ingat

Bahwa..

Mereka dititipkan untuk mendapat pendidikan terbaik.

Lillahi ta'ala

Demi menggapai kemuliaan dunia dan akhirat.."

Sejak memutuskan menitipkan pendidikan anak di pondok pesantren, kami harus siap dengan segala konsekuensinya. Berupaya patuh sepenuhnya pada peraturan pondok. Seperti saat pondok mengeluarkan maklumat melarang kunjungan, kami tak mau ambil risiko mencuri-curi kesempatan dengan berkunjung. Entah ketemuan di Rabithoh atau di mana, meski tidak di Satelit. 

Adalah manusiawi ketika ada santri yang curhat, galau jika tak ada perpulangan semester ini. Terutama santri baru atau sebagian kelas lima yang tahun depan jatahnya mukim di pondok.

Bagi santri baru, perpulangan adalah saat re-charge rindu. Bagi santri kelas lima, liburan perpulangan 10 hari adalah saat terakhir "menyenang-nyenangkan diri, bepergian, rekreasi" sebelum setahun  lebih nantinya akan bermukim di pondok hingga yudisium akhir KMI.

Si Mas juga begitu, telpon jarang-jarang, tetapi saat telpon ada nada galau karena tak bisa pulang. Dengarkan saja, hibur semampu kita. Ingatkan kembali perjuangannya telah sejauh ini. Agar ia bisa istiqomah dan tetap bersemangat hingga lulus berbekal ilmu yang barokah dan berhak atas ijazah.

Saya teringat pada kata mutiara Imam As-Syafi'i, yang biasa kita temui di pencarian google. Dan biasa dinukil para penuntut ilmu.


In the time of corona, menuntut ilmu di pondok pesantren, jauh dari orang tua ..perihnya mungkin berlipat-lipat. Tetapi semua itu insyaAllah akan membuat mereka menjadi lebih kuat.

Seperti syair-syair Imam As-Syafi'i tentang merantau dan menuntut ilmu. Saya pernah menemukan dalam bentuk tulisan bergambar, dari taklim seorang ustad, Lalu saya temukan di google search seperti ini

"Berdiam diri, sejatinya bukanlah peristirahatan bagi mereka pemilik akal dan adab, maka berkelanalah, tinggalkan negerimu (demi menuntut ilmu dan kemuliaan)"

"Air yang tergenang dalam diamnya, justru akan tercemar lalu membusuk. Jika saja air tersebut mengalir, tentu ia akan terasa lezat menyegarkan"

"Merantaulah, engkau akan menemukan pengganti orang-orang yang engkau tinggalkan. Berpeluhlah engkau dalam usaha dan upaya, karena lezatnya kehidupan baru terasa setelah engkau merasakan payah dan peluh dalam bekerja dan berusaha"

"Sekawanan singa, andai tidak meninggalkan sarangnya, niscaya insting berburunya tidak lagi terasah, ia pun akan mati karena lapar. Anak panah, andai tidak melesat meninggalkan busurnya, maka jangan pernah bermimpi akan mengenai sasaran"

"Dan bijih emas yang masih terkubur di bebatuan, hanyalah sebongkah batu tak berharga, yang terbengkalai di tempat asalnya. Demikian halnya dengan gaharu di belantara hutan, hanya sebatang kayu, sama seperti kayu biasa lainnya. Gaharu menjadi parfum bernilai tinggi jika keluar dari belantara hutan, Dan bijih yang keluar dari tempatnya akan menjadi emas yang berharga"



InsyaAllah apapun keputusan pondok adalah keputusan yang dipikirkan dengan bijak, dalam pertimbangan panjang. Saat-saat seperti ini sepertinya tak perlu berandai-andai ada libur perpulangan atau tidak. Tetapi perkuat doa, perhatian, support karena ujian akhir para santri KMI sudah di depan mata.

Saya masih ingat, ketika komentar-komentar miring berhamburan ketika link-link portal berita mengabarkan pondok-pondok yang terpapar corona. Menyalahkan pihak pondok, para santri dan keluarganya. Intinya "sudah tau musim corona, kok malah masuk pondok"

Dan kini berbagai klaster bermunculan, pabrik, kantor, tempat hiburan, restoran, supermarket. Sebagai pengingat, bahwa tak hanya pondok yang harus berisiko dan berjibaku melawan virus corona, tetapi semua tempat berkerumunnya banyak orang. Dan kita memang tidak pernah tahu kapan pandemi ini berakhir. Hanya bisa berdoa dan berikhtiar agar tidak tertular, namun sendi-sendi kehidupan, termasuk mencari nafkah dan menuntut ilmu tetap berputar.

Ketika mulai bermunculan keluhan-keluhan karena sekolah tak kunjung dibuka. Para siswa mulai bosan, orang tua mengeluh harus turut belajar dan meluangkan waktu lebih lama, ada yang anaknya malah keluyuran di jam sekolah, asal sudah absen wajah melalui zoom saja. Dan juga kabar-kabar duka tentang berbagai kekerasan dalam rumah tangga hingga hilangnya nyawa karena sekolah daring sebagai pemicunya saya hanya bisa mengelus dada. Saya tak bisa bersorak "nah, lebih terjamin di pondok pesantren 'kan? anak-anak bisa belajar tenang, tak terpapar godaan gadget yang mengerikan, orang tua ndak stress karena terpaksa sekolah lagi, nggak boros kuota dan berbagai cemoohan lainnya"

Jika saya mencemooh seperti itu, apa bedanya dengan mereka yang mencemooh pondok-pondok pesantren yang dahulu memutuskan untuk memulai proses belajar tatap muka?

Melihat fenomena yang mengerikan itu, saya merasakan perih yang berbeda. Entah di mana ujungnya. Di satu sisi dunia pendidikan dipaksa mengajarkan ilmu, akhlak dan budi pekerti. Sisi lainnya dituntut melindungi anak agar tidak terpapar virus corona.

Jika belajar di rumah orang tuanya marah-marah emosi, karena harus bekerja di rumah sekaligus menuntun anak belajar lebih lama, kira-kira apa yang terekam pada memori anak-anak itu?

Jika selama jam sekolah daring ternyata keluyuran di luar rumah, apa dijamin tidak akan terpapar virus corona?

Ah entahlah...

Berharap pandemi ini segera musnah dari muka bumi.

Semoga tulisan sekaligus doa di Jumat berkah ini, Allah ijabahi...



Share:

No comments:

Post a Comment

BloggerHub

Warung Blogger

KSB

komunitas sahabat blogger

Kumpulan Emak-emak Blogger

Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Powered by Blogger.

About Me

My photo
Ibu dua putra. Penulis lepas/ freelance writer (job review dan artikel/ konten website). Menerima tawaran job review produk/jasa dan menulis konten. Bisa dihubungi di dwi.aprily@gmail.com atau dwi.aprily@yahoo.co.id Twitter @dwiaprily FB : Dwi Aprilytanti Handayani IG: @dwi.aprily

Total Pageviews

Antologi Ramadhan 2015

Best Reviewer "Mommylicious_ID"

Blog Archive

Labels

Translate

Popular Posts

Ning Blogger Surabaya

Ning Blogger Surabaya

Labels

Labels

Blog Archive

Recent Posts

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.