"Lebaran ke mana?"
"Kok nggak mudik?
Pertanyaan-pertanyaan klise itu terkadang terdengar menyebalkan buat saya, yang tak lagi punya orang tua dan mertua. Saya dan suami yatim piatu sejak lama. Beberapa tahun lalu saat masih ada mama, kami masih punya tujuan mudik saat hari raya. Ketika Mama sudah tiada dan rumah mama dikontrakkan karena kami bersaudara tinggal di luar kota, maka setiap hari raya kami tak ada tujuan utama. Pernah sih mudik ke Bali, kampung halaman suami pada 2022 untuk ziarah kubur mertua, tapi untuk kembali mudik ke sana jalan darat butuh tenaga dan biaya extra. Jauuuh, dan suami baru pulih dari sakitnya.
Tahun 2025, 1446 Hijriyah berkat karunia Allah kami berhari raya di Yogyakarta. Sebenarnya boleh dibilang kebetulan. Tujuan utama suami sebenarnya mengunjungi salah satu kakak yang tinggal di Demak yang sudah lama tak berjumpa. Eh ternyata sang kakak mengabari jika di hari raya keluarga mereka berlebaran di rumah orang tua istrinya di Bantul Yogyakarta.
Sekalian deh niat silaturahim keluarga berbonus wisata ke Yogya. Ya tapi emang harus nabung cukup lama. Sebab sewa mobil hari raya ternyata mahal juga, dan harus bayar sewa 1 pekan, ngga boleh kurang dari itu. Meski mungkin butuh cuma buat 3-4 hari tetap aja mobilnya wajib disewa selama 7 hari. Blom lagi ongkos transportasi (BBM, E-toll) dan akomodasi plus konsumsi. Tapi yang paling bikin was-was itu kondisi suami, karena di awal-awal Romadhon sempat drop, sakit karena hipertensi. Alhamdulillah Allah karuniakan kesehatan kepada kami sekeluarga dan memberikan izin silaturahim hari raya sekaligus tipis-tipis berwisata.
Perjalanan lebaran dimulai tanggal 30 Maret 2025, berangkat dari Sidoarjo jam 5.30 WIB langsung meluncur ke Yogya. Lancar, ngga kena macet atau antrian. Menyebabkan kami malah harus menunggu waktu check in di Red Doorz Astana Malioboro. Tapi lumayan lah, di sini boleh check in jam 11 WIB meski dapat kamar di lantai 3.
Usai rehat siang. Sore bada Ashar kami meluncur ke Obelix Sea View. Kenapa ke Obelix? sebab ini salah satu wishlist suami beberapa tahun lalu untuk mengajak anak-anak melihat pantai selatan dari ketinggian. Akhir Ramadan yang berkesan, berbuka ditemani sebotol air mineral dan sepotong roti tetapi pemandangannya laut lepas dari tempat tinggi.
Malam takbiran di kamar saja sambil menikmati rendang bekal dari rumah. Terdengar parade takbir keliling dari Malioboro tapi sudah terlalu lelah untuk turun ke bawah dan jalan kaki ke sana.
Keesokan harinya kami meluncur ke Masjid Gedhe Kauman untuk melaksanakah sholat Idulfitri. Ternyata sholat ied dimulai jam 7 pagi. Wow kirain jam 6 seperti di Jawa Timur, jadilah kelamaan di pelataran masjid menanti sholat ied dimulai.
Usai sholat ied tujuan kami sebenarnya cari sarapan dulu di pasar tetapi karena lebaran maka pasarnya ikut liburan. Jadilah kami menuju Bantul sambil mencari tempat makan yang sekiranya buka. Alhamdulillah menemukan warung soto segar, lumayan buat sarapan sebelum melanjutkan perjalanan.
Sekitar jam 9 kami tiba di kediaman kakak ipar di Bantul. Terakhir ketemu kapan ya, udah lama banget. Pas keponakan menikah yang hadir juga hanya diwakili suami saja. Sekarang mereka sudah pada punya anak-anak.

"nggak mampir pantai
-pantai ta, ini jalan depan rumah bisa tembus JLS dan aksesnya dekat banget ke
pantai" kata beliau.
Dan Bismillah...kami iseng mengikuti saran beliau.
Papan petunjuk di pinggir JLS mengarahkan ke
beberapa pantai, langsung asal masuk aja ke Pantai Depok. Kok ngga ada yang
narik HTM ya. Apa karena ini pas lebaran, 1 Syawal. Penjaganya masih
silaturahim hari raya.
Di depan pintu masuk tampak monumen berbentuk
kapal nelayan bertuliskan
Pantai Depok. Mina Bahari.
Saya udah skeptis aja, "ke sini apa ya cuma
lihat kapal-kapal nelayan berjajar " pikirku.
"Kalau mau makan seafood ada satu warung yang
buka Pak, lurus saja ke sana" sapa seseorang yang mungkin penjaga atau
nelayan menunggu waktu berlayar
"Njih, cuma sebentar kok Pak ' kata kami
Jalan beberapa langkah, ternyata pemandangan indah
terpampang nyata .
Laut Selatan yang ombaknya ganas, menyapa kami
untuk rela berfoto di tengah panas .
Pantainya relatif sepi, seolah milik sendiri.
Mungkin karena belum banyak orang datang ke sini.
Sebab pas IdulFi

"Mama, nggak bisa ke Parangtritis karena pakai baju hijau" kata anakku
"Lah, kan ini juga masih wilayah Pantai Selatan, bukan karena warna baju yang membuat terseret ombak, tetapi karena bermain di pantai terlalu jauh, makanya ke pantai santai aja, ga usah main air" kataku
Nggak sampai 20 menit, kami memutuskan kembali ke penginapan. Dan keluar tempat parkir hanya dikenai ongkos parkir 10 ribu rupiah, tanpa ditagih HTM per-orang. Wah kejutan lebaran yang menyenangkan karena penghematan.
Udara gerah udahlah langsung balik lagi ke penginapan buat tidur siang. Malam harinya barulah jalan-jalan ke Malioboro. Terakhir ke sini pas anak-anak masih SD dan TK. Sekarang udah lebih tertata dan tidak ada permainan harga.
Eh keesokan paginya saya dan suami balik lagi ke Malioboro dengan harapan bis beli sarapan. Beneran, baru aja keluar penginapan ketemu penjual opor lontong dan lontong sayur. Lumayanlan seporsinya 15 ribu rupiah. Makanan dibungkus dan kami makan di kursi-kursi Malioboro.
Usai sarapan kami berkemas meninggalkan Yogya. Petualangan berlanjut ke Tawangmangu mengikuti keinginan si bungsu. Hah, kali ini perjalanan cukup mengganggu sebab jalanan udah mulai padat dan beberapa ruas jalan ditutup, lalu lintas dialihkan karena kepadatan. Jadilah sampai penginapan sederhana sekitar mendekati ashar. Di Tawangmangu seperti pindah tidur saja, karena emang kami nggak kemana-mana hahah, keesokan paginya sudah harus pulang menuju Jawa Timur dan menjalani kehidupan seperti biasa.
Tak ada kenangan wisata, hanya secercah matahari terbit dari balik Gunung Lawu yang berkabut bisa disaksikan dari atap penginapan di lantai tiga.

No comments:
Post a Comment