Tempo hari saya sempat tertarik melihat kuis mini di facebook tentang bagaimana tanggapan mengenai anggapan: ogah ngasih nasihat karena kelak akan diuji dengan nasihatmu sendiri.
Wow benarkah? saya tak pernah menemukan firman Allah baik dalam Al Quran maupun yang tersirat di dalam hadits Nabi yang mencegah orang memberikan nasihat. Justru firman Allah dalam Al Ashr, jelas "menginstruksikan" untuk saling memberi nasihat dalam kebaikan. Wa tawwa shoubil haqqi watawa shoufi shabr.
Lalu bagaimana dengan inti hadits ke-7 dalam Rangkuman Hadits Arbain Nawawi
, ولرسوله, لأئمة المسلمين وعامتهم». رواه مسلم
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama itu nasihat”. Kami pun bertanya, “Hak siapa (nasihat itu)?”. Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)”. (HR. Muslim)
Artinya agama itu nasihat. Ajaran agama intinya adalah nasihat untuk kaum muslimin baik rakyat maupun pemerintahnya. Nah, kedudukan nasihat sangat penting dong. Mengapa harus takut diuji dengan nasihat? Ujian datang tak hanya dari "pintu nasihat" tetapi dari berbagai sendi kehidupan, bahkan kehidupan sendiri adalah ujian. Bukankah manusia diciptakan untuk diuji. Anak, harta, pasangan hidup adalah ujian.
Namun ada benarnya juga bahwa kita akan diuji dengan nasihat kita sendiri. Ujian itu berfungsi untuk menelisik apakah kita hanya mampu mengucap tetapi tidak mampu menjalani. Bukankah Allah memperingatkan para ulama bahwa mereka dituntut menyampaikan kebenaran dan melakukan apa yang mereka nasihatkan kepada umatNya? jika tidak maka nerakalah ancamannya.
Seperti kisah tetangga saya (sebutlah si A). Putra sulungnya sekolah di pondok pesantren cukup dekat dari rumah. Tetangga yang lain (sebutlah si B) putra tunggalnya mondhok di luar kota. Suatu hari si B curhat kepada si A bahwa dia dipanggil pengurus pondok pesantren berkenaan dengan perilaku anak tunggalnya yang ketahuan merokok padahal itu pelanggaran berat. si B mencak-mencak, karena ia tahu anaknya anak yang sholeh dan melakukan pelanggaran itu karena bujukan si teman. si B bertekad akan mengeluarkan anaknya dari pondok pesantren dan menyekolahkannya di sekolah umum. si A menghibur, ia menasihati si A dan mengatakan bahwa itu hanya ujian. Allah menguji sampai dimana tekad si B untuk mengantarkan anaknya seperti harapan semula ketika mengirimnya ke pondok pesantren.
Setahun kemudian ganti si A yang dipanggil pengurus pondok pesantren berkenaan dengan perilaku anaknya yang menghajar yunior beberapa tingkat di bawahnya bareng-bareng bersama senior lain. Anaknya digundul dan diskorsing sementara pelaku lain dikeluarkan. Degh, hati saya mencelos. Artinya si A diuji Allah apakah ia akan bertahan dengan komitmennya semula.
Lalu saya juga sepertinya kena ujian yang sama. Saat para wali santri ramai debat masalah pencurian di pondok pesantren. Bahkan pondok pesantren terkemuka di Indonesia tidak terbebas dari kriminalitas. Saya hanya bisa mengatakan di grup WA bahwa semua musibah atau kesenangan terjadi atas kehendak Allah dan kita hanya harus bertawakal. Eh lhadalah kok anak saya kemarin menjadi salah satu korban pembobolan lemari, uang untuk biaya pulang liburan semester dan makan sebulan raib dari simpanan. Semua milik Allah akan kembali kepada Allah.
saya juga baru dengar mba, ada ungkapan seperti kalimat di atas.
ReplyDeleteStigma yang salah ya, kalo menurut saya
hehehe kadang orang takut menasehati khawatir diuji dengan nasehatnya sendiri....semacam refleksi. Padahal ujian bisa datang dari pintu mana saja dan kapan saja ya mbak
Delete