Apa
yang terpampang pertama kali dalam benak ketika mendengar kata DILEMA? Apakah
si Centini yang sedang melenggak-lenggok sambil menyanyikan lagu Dilema, atau
kegalauan hati ketika harus memilih di antara dua, tiga dan seterusnya?
Jawabannya terserah anda. Seperti terserah anda juga bagaimana mengatasinya.
Dilema,
mungkin hampir setiap orang mengalaminya. Pas baru lulus sekolah interview sana
sini lalu diterima di dua perusahaan bonafid sekaligus tentu harus pilih yang
mana, saat dua lelaki datang melamar untuk dijadikan istri mantapnya sama
siapa? lalu sudah jadi emak-emak online maniacs masih saja mengalami dilema
menentukan saat belanja baju terbaru nunggu obral Harbolnas (Hari Belanja
Online Nasional) atau Pesta Cashback #eh. Stop...itu bukan kisah nyata saya.
Hanya sekedar menggambarkan ribetnya dilema. Kalau tinggal pilih model sepatu
atau warna baju sih bukan dilema yang membutuhkan pemikiran lama.
Saya
pernah dihinggapi dilema yang cukup menyiksa meski tak sampai membuat saya ogah
makan dan sulit tidur. Toh meski berbulan-bulan memikirkan pilihan terbaik
nyatanya berat badan masih bertahan. Dilema terbesar saya alami tahun 2012.
Ketika harus memilih: terus bekerja kantoran atau keluar dari “zona
nyaman” dan menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Zona nyaman sengaja saya
tulis dalam tanda petik sebab nyaman yang saya maksudkan adalah perasaan aman
atas penghasilan pasti setiap bulan.
Dilema di antara dua
Jujur
saja, saya bukan wanita pengejar karir, tetapi emak pengejar penghasilan.
Karena itu saya tak peduli dengan jabatan asal ada kenaikan gaji setiap tahun
hehe. Disebut nyaman dengan
bold dan garis bawah kenyataannya pekerjaan saya tidak menjanjikan rasa nyaman.
Gaji tidak istimewa tetapi resiko kerjanya cukup tinggi mengingat saya pernah
mengganti uang perusahaan jutaan rupiah karena tanggung jawab sebagai
supervisor administrasi sekaligus kasir divisi operasional. Nggak pernah pinjam
uang perusahaan tetapi uangnya raib dan tak sesuai hitungan. Mau tak mau tentu
saya harus mengganti “uang hilang” Dibilang nggak krasan lha wong saya bisa
bertahan hingga hampir enam tahun padahal jarak tempat kerja ke rumah jauhnya
sekitar 30 kilometer dan ditempuh dengan bus kota.
Dilema
terjadi ketika anak bontot saya, Raditya harus beberapa kali ganti pengasuh.
Sejak kami pindah rumah asisten rumah tangga kami hanya bertahan bekerja selama
setahun karena dia tak bisa pulang setiap hari. Saya memutuskan Raditya masuk
Daycare daripada mencari asisten rumah tangga yang baru. Pertimbangan saat
itu adalah di daycare Raditya bisa belajar bersosialisasi dan mendapatkan
dasar-dasar pengetahuan bagi anak-anak pra sekolah. Urusan masak, mencuci,
menyeterika dan beberes rumah menjadi tanggung jawab saya kadang dibantu suami.
Semula
semua mengalir begitu saja. Kondisi rumah dan anak-anak baik-baik saja. Raditya juga menunjukkan
banyak kemajuan. Ia lebih mudah menghafalkan huruf hijaiyah, suka mewarnai dan
mulai bisa menulis huruf. Pelajaran-pelajaran dasar yang seringkali tidak
optimal saya ajarkan karena harus berbagi waktu dengan urusan pekerjaan rumah
sepulang kerja. Sementara sang kakak Rafif yang baru duduk di kelas dua hampir
tak ada masalah dengan urusan sekolah dan pergaulan di rumah.
Masalah mulai timbul ketika di daycare Raditya timbul pergolakan. Para pengasuhnya satu persatu mengundurkan diri. Salah satu pengasuh kebetulan tinggal di dekat rumah. Sehingga ia berinisiatif membawa Raditya di rumahnya. Akhirnya kami pun tidak lagi menggunakan jasa daycare tetapi langsung membayar pada si pengasuh. Sayangnya anak bungsu si pengasuh yang tengah berusia remaja berperilaku tidak sopan. Saya pernah melihatnya mengeluarkan kata-kata kotor kepada sang ibu. Raditya pernah bercerita kalau anak itu marah-marah bisa menjambak rambut segala. Saya khawatir dengan perkembangan psikologis Raditya. Ditambah dengan vonis dokter pada si kakak untuk segera dikhitan karena ada gangguan kesehatan pada organ prianya.
Masalah mulai timbul ketika di daycare Raditya timbul pergolakan. Para pengasuhnya satu persatu mengundurkan diri. Salah satu pengasuh kebetulan tinggal di dekat rumah. Sehingga ia berinisiatif membawa Raditya di rumahnya. Akhirnya kami pun tidak lagi menggunakan jasa daycare tetapi langsung membayar pada si pengasuh. Sayangnya anak bungsu si pengasuh yang tengah berusia remaja berperilaku tidak sopan. Saya pernah melihatnya mengeluarkan kata-kata kotor kepada sang ibu. Raditya pernah bercerita kalau anak itu marah-marah bisa menjambak rambut segala. Saya khawatir dengan perkembangan psikologis Raditya. Ditambah dengan vonis dokter pada si kakak untuk segera dikhitan karena ada gangguan kesehatan pada organ prianya.
Jika
Rafif dikhitan maka saya harus mendampinginya hingga sembuh. Tak mungkin
rasanya melepasnya sendirian di rumah setelah cuti saya yang maksimal dua hari
kerja. Kalau saya terus bekerja dan menitipkan Raditya di pengasuh yang sama
kekhawatiran melanda. Tingkah laku anak pengasuh bisa menyebabkan dampak buruk
bagi kepribadiannya. Tapi kalau saya berhenti bekerja bagaimana membayar
angsuran KPR rumah, uang bulanan untuk Mama dan infaq bulanan sebagai donatur
tetap yayasan sosial yang selama ini diambil dari gaji saya sebab gaji suami
cukup untuk makan dan membayar tagihan lain non KPR (maaf ini bukan membuka aib
atau pamer manfaat gaji tetapi sekedar menggambarkan beratnya dilema)
Pak
ustadz kalau dicurhatin masalah begini pasti menyuruh sholat istikharah.
Masalahnya hubungan saya dengan Allah tidak terlalu mesra sehingga saya mungkin
kurang mampu menangkap maksudNya. Untuk mengambil keputusan antara berhenti
atau terus bekerja hal pertama yang saya lakukan adalah meminta pertimbangan
plus ridho suami dan restu Mama. Suami saya hanya berkata “terserah kamu saja” (namun saya melihat sebenarnya ia merasa
berat). Sementara Mama hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk saya.
Banyak
hal yang menjadi pertimbangan sebelum memutuskan solusi dari dilema yang saya
hadapi. Plus minus jika saya tidak bekerja serta dampak positif dan negatif
jika saya terus bekerja. Ok perinciannya kurang lebih:
# Jika
saya tetap bekerja: finansial keluarga aman, tabungan persiapan biaya sekolah
anak-anak terpenuhi, tagihan-tagihan terbayar. Namun konsekuensinya ada
kemungkinan Raditya tumbuh dalam lingkungan yang kurang kondusif dan meniru
perilaku anak pengasuh, Rafif kebingungan dalam masa penyembuhan setelah khitan
atau terus mengundur proses khitan padahal ia terus kesakitan? Kemudian saya
juga masih bertanggung jawab agar lebih sering menjenguk Mama yang tinggal
sendiri di luar kota sejak meninggalnya adik bungsu saya di tahun 2011 padahal
hari libur saya hanya Minggu, bagaimana cara membagi waktu? (apalagi Mama
menolak mentah-mentah untuk meninggalkan rumah kenangan dan tinggal bersama
anak-anaknya yang lain)
# Di
sisi lain jika saya berhenti bekerja: darimana pos-pos pembiayaan yang selama
ini bersumber dari gaji. Tetapi Raditya dan Rafif insyaallah aman dan nyaman di
rumah sendiri.
Keputusan
kemudian diambil setelah berbulan-bulan diombang-ambingkan kebimbangan. SAYA
HARUS BERHENTI BEKERJA. Satu hal yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk
berhenti bekerja adalah anak-anak. Selama berbulan-bulan saya belum menemukan
solusi agar anak-anak terjamin kesehatan dan kondisinya maka saya anggap
keputusan berhenti bekerja adalah yang paling tepat.
My Precious
Masalah
menutup tagihan, saya dan suami berembug. Sisa KPR ditutup dengan sisa tabungan
saya ditambah hasil penjualan motor. Satu-satunya motor kemudian dijual dan
kami mengajukan kredit lagi. pertimbangannya membayar angsuran motor lebih
murah daripada angsuran rumah. Lalu kewajiban lainnya? Beberapa tahun
sebelumnya saya sudah pernah vakum dari dunia kerja kantoran, mengurus Rafif dan
rumah sepenuhnya selama dua tahun. Kondisi finansial keluarga dan rasa jenuh yang
kemudian mendorong saya kembali melamar kerja hingga akhirnya berkarir selama
hampir enam tahun. Belajar dari pengalaman maka sebelum mengajukan surat
permohonan berhenti bekerja saya mulai mengasah bakat yang sekiranya bisa
menjadi ladang rezeki baru sekaligus aktivitas mengisi waktu. Menulis,
mengikuti aneka lomba dan kuis adalah serangkaian aktivitas yang rutin saya
lakukan di jam-jam istirahat atau waktu senggang. Senangnya aktivitas-aktivitas
tersebut kemudian mendatangkan hasil. Saya menyukai prosesnya apalagi hadiah
kemenangannya. InsyaAllah aktivitas ini menjadi salah satu pembuka pintu rezeki.
Maka
resmilah saya mengajukan surat pengunduran diri di bulan Desember 2012 tepat
sehari sebelum Rafif dan Raditya dikhitan. Meski hubungan saya dengan Allah
saat itu tidak terlalu mesra namun saya mendapatkan banyak hikmah. Hikmah
berupa kepasrahan, tawakal yang sebenarnya. Bahwa janji Allah sebagai Pembagi
Rezeki yang Maha Adil tidak sepatutnya dipertanyakan. Saya tak pernah menyesal pernah memilih jalan menjadi wanita pekerja. Dan saya pun menikmati keputusan untuk berhenti bekerja.
Pemandangan sepulang kerja yang kadang saya rindukan.
Senja dan burung-burung pulang ke sarang
Seiring
berjalannya waktu berbagai rintangan menguji keputusan yang telah diambil. Biaya-biaya transportasi untuk mengantar Mama pulang pergi dari rumah
kami ke tempat tinggal Mama yang cukup menguras tabungan, kerusakan beberapa
perabot rumah yang kembali membuat saya merogoh sisa tabungan hingga yang
terbesar adalah kesulitan finansial ketika suami terPHK, jobless untuk beberapa
lama dan mengalami kecelakaan padahal kami tak punya cukup biaya operasi (dan
akhirnya berhutang kepada kakak ipar yang tak kunjung lunas hingga kini)
Berbagai rintangan itu sempat membuat saya terpuruk, mempertanyakan sudah
benarkah keputusan resign tersebut. Apalagi atasan saya tiba-tiba menelepon dan
mengajak untuk kembali bekerja. Saat itu suami dalam kondisi jobless dan
menyarankan saya menerima tawaran tersebut. Tetapi saya bersikukuh untuk tetap
tinggal di rumah dan memilih mengais rezeki sebagai freelance termasuk sebagai penulis konten dengan fee recehan. Kalau bekerja lagi di tempat yang sama paling cepat saat adzan Maghrib berkumandang saya baru tiba di rumah. Berat rasanya meninggalkan kelas pengajian sore hari yang saya ikuti untuk memperbaiki
bacaan Al Quran selepas vakum dari dunia kantoran.
Tak
mudah bertahan dengan kondisi finansial goncang dan musibah demi musibah datang
silih berganti. Tetapi Allah tak pernah ingkar janji. Setelah sempit datanglah lapang. Setelah sempat menjual televisi, berbagai hadiah kuis dan lomba
termasuk helm baru seharga ratusan ribu rupiah dan menggadaikan satu-satunya kalung yang saya
miliki demi menyambung hidup alhamdulillah suami bisa mencari nafkah kembali.
Alhamdulillah kondisi finansial keluarga kembali stabil. Malah sekelumit kisah
tentang menggadaikan kalung sempat menjadi penghias artikel yang kemudian
memenangkan lomba Road Show Pegadaian 2016.
Saya
mendapatkan pelajaran ada rahasia di balik dilema. Bahwa proses menentukan pilihan merupakan bagian dari pendewasaan. Bimbang memilih A, B atau C bisa datang kapan saja, tentang apa saja.
Tak perlu terburu-buru mengambil keputusan. Memilih salah satu tetaplah menjadi
kewajiban. Sertailah keputusan tersebut dengan doa memohon yang terbaik menurut
Allah. Dan bersiap dengan segala konsekuensinya termasuk jika di kemudian hari
hasil keputusan tersebut jauh dari harapan dan kondisi yang kita damba.
Wah, perjuangan saya belum ada apa-apanya kalau dibandingkan Mba' Dwi.. :(
ReplyDeleteJadi malu sendiri bila kadang masih mengeluh, sukses terus ya Mba', InsyaAllah setelah kesulitan selalu ada kemudahan. :)
Janji Allah yang menguatkan kita ya mbak 😘
DeleteTabarokallah ya mbaaaa
ReplyDeleteALLAH itu MAHA AJAIB :)
Thanks sharingnya mbak. Aku jadi makin setrooong!
bukanbocahbiasa(dot)com
Yes! Be strong and patience mbak Innallaha maa ashobirin...😚😘
DeleteSelamat ikutan lomba ya mbak. Iya terkadang sebagai working momma kita dilema banget ya antara kerjaan sama anak, hiks hiks...kebetulan ngalamin juga euy. Salam kenal ya mbak :)
ReplyDeleteAda rahasia di balik dilema. Pernah dengar ngendikane ustadz, pilihan kita itulah takdir ikhtiar kita...
ReplyDeleteNggih mbak Murti. Takdir bicara diam-diam di balik pilihan yang kita jatuhkan 😇
DeleteThis comment has been removed by the author.
Deletepilihan kadang butuh kekuatan ya mbak
ReplyDeletebetul mbak Tira. Konsisten dan yakin atas pilihan yang sudah diambil itu perlu :)
DeleteKalau dilema yang sering aku rasakan itu, antara pengen bekerja karena ortu senang dengan pekerjaan, atau milih jadi IRT fokus sama anak, duh sampai sekarang masih kepikirannn
ReplyDeletehehe dilema sebagian besar wanita pekerja ya mbak :)
DeleteJanji Allah selalu benar ya mbak. Asal kita selalu berbaik sangka sama rencana Allah, ikhtiar dan doa, inshaa Allah saat manis akan datang di saat yang tepat. Salut sama mbak! :D
ReplyDeleteinsyaAllah demikianlah yang dijanjikan Allah mbak...terimakasih sudah mampir :)
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete