Siang tadi saya kembali
diuji, ban sepeda bocor tepat lima belas menit sebelum berangkat menjemput si
kecil dari sekolah. Duh dua minggu lalu baru saja ditambal. Dan proses
penambalannya saat itu sungguh menyebalkan saya. Bagaimna tidak, waktu
menjemput sudah semakin sempit. Sepeda saya tuntun sampai di depan perumahan
karena yakin sekali bapak tua penambal ban di depan perumahan bisa membantu. Lalu
ditolak dengan alasan dia mau istirahat siang. Tapi saya belajar bersabar dan bertanya
lokasi tambal ban terdekat. Si bapak memberikan rekomendasi tambal ban di jalan
raya. Saya berjalan lagi sekitar 200 meter dan kembali mengalami penolakan. Yaelah
mungkin rasanya lebih nyeseg daripada melihat gebetan menikah. Penolakan dari
tukang tambal ban kedua ini disertai
rekomendasi tambal ban kedua. Aduuh
nggak deh. Tempatnya makin jauh dari arah sekolah si kecil. Akhirnya saya balik
arah dan memaksakan mengayuh sepeda itu dalam kondisi ban kempes.
Sekitar 400 meter, di
depan pasar saya yakin ada tukang tambal ban. Searah pula dengan lokasi
sekolah. Tapi oolala ternyata dua tukang tambal ban di area berdekatan sekitar
pasar tak tampak batang hidungnya. Akhirnya saya memutuskan mengayuh sepeda ke
arah sekolah. 200 meter sebelum lokasi sekolah ada bengkel langganan untuk
memperbaiki sepeda anak saya. Alhamdulillah si bapak nggak menolak. Saya pun berjalan kaki menemui anak saya yang sudah
duduk melantai di teras sekolah. Sendirian. Karena teman-temannya sudah pada
pulang. Aduuh. Kaki rasanya pegal linu, hampir lecet dan lapar jadi satu. Biasanya
jam 1 siang sudah sampai rumah, jadi molor hingga hampir jam 2. Saya sempat “menandai”
si bapak penambal ban depan perumahan kalau saya tak mau lagi menggunakan
jasanya. Saya anggap dia nggak punya tenggang rasa karena tidak bersedia
membantu saat saya sangat membutuhkan jasanya, so buat apa saya mencarinya lagi
untuk pekerjaan lain kali.
Lalu saya pun kena
batunya. Setelah peristiwa ban bocor itu suami langsung membelikan ban dalam
buat siap sedia. Eh nggak langsung diganti tapi nunggu ban bocor kedua kali. Dan
itu terjadi hari ini. Hihihi malu rasanya menelan ludah sendiri. Terlanjur setengah
sebal sama si bapak penambal ban eh saya berharap-harap cemas dia tak menolak
kali ini. Alhamdulillah. Dia mau menolong mengganti ban. Peristiwa ini membuat
saya tafakur. Betapa tak pantas tindakan saya dengan memendam sebal dan “dendam”.
Mungkin saja penolakan si bapak waktu itu karena dia sedang tak enak badan
sehingga harus istirahat siang, atau mungkin dia kesulitan jika diminta
menambal ban karena penglihatannya yang kurang tajam.
Sebenarnya dia ramah. Sambil
bekerja ngobrol kesana kemari tentang banjir, tentang mobil yang semakin
bersliweran sementara “kita” motor saja tak mampu beli (hihihi saya bukan Cuma nggak
mampu beli motor paak, tapi juga ga bisa mengendarari :p). Saya juga
mendapatkan pelajaran. Bahwa pembagian rezeki itu benar-benar misteri. Bisa-bisanya
saya “menandai” si bapak tukang tambal ban dan ogah memakai jasanya lagi. Sok banget
atuh macam saya tak butuh, padahal siapa Yang Maha Memberi Rezeki?. Peristiwa semacam
ini menjadi semacam pelajaran juga bahwa tak ada pekerjaan remeh di dunia. Semua
punya kedudukan dan tugas tersendiri yang kelak dibutuhkan di waktu yang tak
pernah kita ketahui.
Merenung lagi, tak sekali ini saya kena batunya. Dulu zamannya si sulung masih balita dia sulit sekali makan lahap. BERBAGAI CARA MEMBUJUKNYA DOYAN MAKAN seolah berakhir sia-sia, saya pun naik darah dibuatnya. Ih gimana nggak sebal kalau satu kali sesi makan butuh waktu dua jam! karena makanan itu cuma dikulum di mulut seperti permen. Pas sudah hilang sarirasanya dia ambil sembunyi-sembunyi lalu ditaruh di balik selimut, koran atau dimana saja yang dia mau. Tapi saat usianya sudah 9 tahunan dia makan seolah tak pernah kenyang. Seperti sekarang saat di pondok pesantren pun uang sakunya lebih gede dari biaya makan kami sebulan (bayangin deh biaya makan kami bertiga saya puter agar cukup 200 ribu dalam sebulan!). Hadeeh kena batunya beneran kali ini nih.
No comments:
Post a Comment