Bismillah…
“Kok
Gontor begitu sih, kalau di Pesantren Alif Ba Ta begini lo sistemnya…bla bla bla
..jadi santri bisa fokus belajar” Pernah mendengar keluhan
atau curhat seperti itu dari sesama wali santri? Bahkan yang menghujat pun saya
pernah mendengarnya. Saya hanya bisa menghela nafas panjang. Sambil merenung,
jangan-jangan saya juga pernah demikian. Tetapi bukan membandingkan dengan
pesantren lain, melainkan sekadar mengernyitkan dahi “pondok pesantren masa’ gitu” maklum saya bukan alumni, dan putra
saya adalah generasi pertama di keluarga besar saya yang merasakan pendidikan pondok.
Seiring perjalanan menjadi walisantri Gontor,
saya yang awalnya terheran-heran dengan segala kejutan akhirnya lebih paham, mengapa
harus demikian, mengapa terjadi yang begini dan begitu.
Maka bagi saya, membandingkan satu pondok
dengan pondok pesantren yang lain rasanya bukan hal yang bijaksana. Mengapa:
1. Adab
(etika)
Pondok
pesantren adalah institusi menuntut ilmu, di mana kyai adalah sentralnya, tidak
ada sistem komite walisantri seperti di sekolah formal biasa. Membandingkan pondok
A dan B sama halnya dengan membandingkan antara “rumah tangga Kyai” satu dengan
“rumah tangga Kyai” yang lainnya.
Kita
kembalikan ke diri sendiri saja. Sebagai istri kira-kira merengut nggak jika
suami tercinta berkata “Ma, mbok ya yang pinter masak seperti bu A itu lho”
atau sebagai suami diomeli istri “Pa, ngasih duit kok nanggung…pak B itu lo ga
itung-itungan sama istrinya”
Maka
mendahulukan adab daripada ilmu sangat penting untuk dipahami. Tidak membandingkan
antara satu institusi dan lain adalah cara menjaga etika/adab (menurut
pemahaman saya yang fakir ilmu ini)
2. Komitmen
Dulu,
saat mendaftarkan mengikuti seleksi ujian masuk PMDG kita tentu ingat bahwa
telah menandatangani surat pernyataan di atas materai. Bahwa kita harus taat
dan patuh pada peraturan pondok, apapun yang akan dialami oleh anak kita jika
diterima menjadi santri. Degh! Kaget ya. Tapi …jika niat kita baik, insyaAllah
kebaikan pula yang akan kita dapatkan. Maka sebelum membubuhkan tanda tangan..
Bismillah…Lillahi ta’ala.. kami titipkan kembali amanah Allah untuk menuntut
ilmu di institusi yang kami pilih sebagai pendidik anak kami.
3. Kesempurnaan
hanya milik Allah
“Nggak usah meninggi-ninggikan Gontor, itu
kan buatan manusia juga,” kata salah seorang walisantri yang pernah saya
dengar. Tidak ada yang salah dengan perkataannya. Saya pun memandang institusi
tempat anak saya menuntut ilmu dari kacamata manusia biasa, dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Justru itulah kita dikembalikan kepada pemahaman
bahwa kesempurnaan hanya milik Allah, kita tak bisa menuntut kesempurnaan pada
sebuah institusi, menuntutnya untuk sama dengan institusi yang lain atau sesuai
keinginan kita. Kalau maunya seperti itu mending mendirikan pondok pesantren atau
institusi pendidikan sendiri saja, dengan peraturan yang disusun sendiri hehehe…
Maka
itu saya berpesan kepada putra saya agar kepada tempatnya menuntut ilmu ia
selalu bersikapu “mikul dhuwur mendhem jeru” (menutupi kekurangan, menjaga
marwah yang menjadi keunggulan)
Pak
Kyai, para asatidz selalu berpesan “hati-hati jika sudah di luar pondok, di
dahi kalian itu tertera stempel Pondok Modern Darussalam Gontor” Pesan itu
bukan tanpa alasan. Di sinilah santri dan alumni dihimbau untuk berhati-hati
dalam bertingkah laku, berkata dan bersikap. Demi menjaga nama baik pondok. Janganlah
sampai pandangan miring dan sinis muncul pada sistem pendidikan pondok
pesantren karena ketidakpatutan santri saat bertingkah laku, dan menimbulkan cemoohan
“santri kok kelakuannya seperti itu”
Dan
juga saya tak segan mengingatkan saat putra saya berkata “itu si A (anak tetangga yang belajar daring) katanya santri, kok gak
bisa bahasa Arab, masa aku diminta tolong ngerjakan tugasnya dari no 1-30” atau
saat ia menegur santri tetangga lainnya yang bersekolah di pondok dengan segala
fasilitas megahnya “kamu itu mondhok atau
tidur di hotel kok model pendidikannya seperti itu” dan lain waktu dia
berkata “anak-anak itu mondhok kok nggak
tau belajar kitab apa ya Ma, kutanya kok jawabannya geleng-geleng kepala sambil berwajah bingung” Saya antara
kaget dan geli mendengar curhatnya. Tapi ya hanya bisa mengingatkannya dengan
hati-hati:
“Eh Nak, nggak baik membanding-bandingkan
begitu. Semua institusi pasti punya kelebihan dan kekurangan. Sudah, kamu fokus
bagaimana menjaga dirimu sendiri saja”
Semoga
sebagai walisantri saya tak lelah untuk terus belajar menempatkan diri. Dan tak
pernah lupa bahwa hasil dari pendidikan itu penilaiannya adalah di tengah masyarakat
dan di hadapan Allah nanti.
Sidoarjo,
Agustus 2020
No comments:
Post a Comment