"Anak di pesantren, ayah ibunya nggak repot-repot mendidik,nggak pusing anak lagi ngapain, ngga butuh ilmu parenting" waduh anggapan ini tidak benar sepenuhnya. Bagaimanapun kelak yang dimintai pertanggungjawaban mengenai sang anak di hadapan Allah itu ayah ibu, bukan kyai, ustadz atau guru.
Jika ditinjau dari kuantitas, interaksi fisik dengan anak yang dititipkan di pesantren tentu berbeda dengan kuantitas interaksi dengan anak yang tinggal bersama orang tua hampir 24 jam sehari. Namun interaksi, hubungan batin ayah-ibu dan anak tidak bisa terputus hanya karena perbedaan jarak.
Toh menuntut ilmu di pondok juga tidak seumur hidup, ada saat berlibur, ada saat lulus dan kembali ke rumah meski kelak ada waktunya untuk melanjutkan kuliah. Pada momen inilah peran orang tua dalam mengaplikasikan gaya parenting sangat menentukan. Bagaimana agar bersinergi dengan pendidikan pondok, bagaimana mensupport agar sang anak tidak terbuai "kebebasan" ketika berada di luar pagar pondok, bagaimana meyakinkan sang anak untuk kembali ke pondok usai libur panjang dan mengingatkan bahwa orang tua mengirim mereka menuntut ilmu di tempat yang jauh bukan karena dibuang, melainkan untuk berjuang.
"Anak lelaki tak boleh dihiraukan panjang. Hidupnya ialah buat berjuang, kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut palang, meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang"
~ Buya Hamka.
Anak-anak yang tumbuh di pesantren memang terlihat jauh lebih dewasa dalam menyikapi permasalahan. Mereka terbiasa mandiri dalam menghadapi masalah. Namun tidak serta merta orang tua melepaskan sepenuhnya tanggung jawab mendidik putra-putrinya.
Pesantren hanyalah miniatur kehidupan bermasyarakat. Bukan lembaga yang menjanjikan tiket surga. Sebab masuk surga adalah rahmat Allah semata, bukan karena kehebatan kita dalam beribadah. Namun bisa jadi jika niatan kita menyekolahkan putra-putri kita agar lebih memahami firman-firmanNya, ayat qauliyah dan kauniyah dengan mengirim mereka menuntut ilmu di pondok pesantren, akan menjadi salah satu sarana jalan menuju jannah.
Maka bagi para santri dan wali santri yang berjuang, berjuang agar tak ada yang patah arang, berjuang hingga bibit yang ditanam benar-benar baik tumbuh dan berkembang, syair Imam As-Syafi'i ini adalah salah satu pemantik api semangat, agar tetap istiqomah dan taat, meski ruang dan waktu menjadi sekat:
Saya copas dari Al Hujjah.com
Al-Imam asy-Syafi’i berkata dalam
syairnya:
ما في المُقامِ لذي عقلٍ وذي أدبٍ
مِنْ رَاحَة ٍ فَدعِ الأَوْطَانَ واغْتَرِب
مِنْ رَاحَة ٍ فَدعِ الأَوْطَانَ واغْتَرِب
“Berdiam diri, stagnan, dan menetap
di tempat mukim, sejatinya bukanlah peristirahatan bagi mereka pemilik akal dan
adab, maka berkelanalah, tinggalkan negerimu (demi menuntut ilmu dan kemuliaan)
سافرْ تجد عوضاً عمَّن تفارقهُ
وانْصَبْ فَإنَّ لَذِيذَ الْعَيْشِ فِي النَّصَبِ
وانْصَبْ فَإنَّ لَذِيذَ الْعَيْشِ فِي النَّصَبِ
Safarlah, engkau akan menemukan
pengganti orang-orang yang engkau tinggalkan. Berpeluhlah engkau dalam usaha
dan upaya, karena lezatnya kehidupan baru terasa setelah engkau merasakan payah
dan peluh dalam bekerja dan berusaha.
إني رأيتُ وقوفَ الماء يفسدهُ
إِنْ سَاحَ طَابَ وَإنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ
إِنْ سَاحَ طَابَ وَإنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ
Sungguh aku melihat, air yang
tergenang dalam diamnya, justru akan tercemar lalu membusuk. Jika saja air
tersebut mengalir, tentu ia akan terasa lezat menyegarkan. Tidak demikian jika
ia tidak bergerak mengalir.
والأسدُ لولا فراقُ الأرض ما افترست
والسَّهمُ لولا فراقُ القوسِ لم يصب
Sekawanan singa, andai tidak
meninggalkan sarangnya, niscaya kebuasannya tidak lagi terasah, ia pun akan
mati karena lapar. Anak panah, andai tidak melesat meninggalkan busurnya, maka
jangan pernah bermimpi akan mengenai sasaran.
والشمس لو وقفت في الفلكِ دائمة
لَمَلَّهَا النَّاسُ مِنْ عُجْمٍ وَمِنَ عَرَبِ
لَمَلَّهَا النَّاسُ مِنْ عُجْمٍ وَمِنَ عَرَبِ
Sang surya, andai selalu terpaku di
ufuk, niscaya ia akan dicela oleh segenap ras manusia, dari ras arabia, tidak
terkecuali selain mereka.
والتبر كالترب ملقى في أماكنه
والعودُ في أرضه نوعاً من الحطب
والعودُ في أرضه نوعاً من الحطب
Dan bijih emas yang masih terkubur
di bebatuan, hanyalah sebongkah batu tak berharga, yang terbengkalai di tempat
asalnya. Demikian halnya dengan gaharu di belantara hutan, hanya sebatang kayu,
sama seperti kayu biasa lainnya.
إن تغرَّب هذا عزَّ مطلبهُ
وإنْ تَغَرَّبَ ذَاكَ عَزَّ كالذَّهَب
وإنْ تَغَرَّبَ ذَاكَ عَزَّ كالذَّهَب
Andai saja gaharu tersebut keluar
dari belantara hutan, ia adalah parfum yang bernilai tinggi. Dan andaikata
bijih itu keluar dari tempatnya, ia akan menjadi emas yang berharga.
*dinukil dan diterjemahkan secara
bebas berdasarkan Syarh Diwan asy-Syafi’i (hal. 25-27), Muhammad Ibrahim Salim,
Cet. Maktabah Ibn. Sina – Mesir.
***
No comments:
Post a Comment