Berpuluh-puluh tahun lalu, Ibrahim, lelaki muslim paruh baya
berkebangsaan Turki mengelola sebuah toko makanan. Toko tersebut terletak tak
jauh dari apartemen tempat sebuah keluarga Yahudi tinggal. Salah satu penghuni
apartemen Yahudi adalah Jad, anak lelaki berusia 7 tahun.
Jad setiap hari disuruh ibunya berbelanja di toko makanan milik
Ibrahim. Setiap kali itu pula Jad menunggu saat Ibrahim tampak lengah dan
mencuri sepotong coklat di etalase toko. Jad melakukan hal tersebut
berbulan-bulan. Hingga suatu hari Jad lupa tidak mengambil coklat dan langsung
menuju pintu keluar. Tidak disangkanya Ibrahim memanggilnya, “Nak, kau melupakan sepotong coklat yang
biasanya kau ambi setiap hari” Jad kaget luar biasa. Ia mengira bahwa
Ibrahim benar-benar tidak mengetahui tindak pencurian yang ia lakukan selama
ini. Ternyata dugaannya salah. “Maafkan
saya Pak, tolong jangan laporkan saya. Saya takut Ayah dan Ibu akan
menghukumku. Saya janji tidak akan mengulanginya”
Di luar dugaan, Ibrahim tersenyum dan berkata “Tak mengapa Nak, saya percaya kamu akan
menepati janji untuk tidak mengulangi perbuatan mengambil sesuatu tanpa izin,
dan sebagai hadiah setiap saat kamu belanja dan mau keluar dari toko ini,
ambillah sepotong cokelat, itu adalah pemberianku”,
Tahun demi tahun berganti. Ibrahim dan Jad menjadi layaknya
sahabat. Jad pun tumbuh sebagai seorang pemuda. Ia menganggap Ibrahim tak
sekadar sebagai sahabat, tetapi juga bagai sosok Ayah baginya. Maka, setiap
kali Jad menemui permasalahan, ia selalu datang kepada Ibrahim untuk
berkonsultasi. Ibrahim mendengarkan dengan baik, kemudian mengambil sebuah buku
dari laci. Ibrahim membaca dua lembar buku, menutup dan memberikan nasihat
berkaitan dengan permasalahan Jad.
Hal seperti demikian terus berlangsung setiap kali Jad menemui
masalah. Hingga empat belas tahun berlalu dan Ibrahim kemudian meninggal.
Sebelum meninggal Ibrahim berwasiat kepada anak-anaknya untuk memberikan sebuah
kotak berisi buku yang biasa ia baca sebelum memberi nasihat kepada Jad saat
tertimpa masalah.
Jad sangat kehilangan Ibrahim. Baginya Ibrahim adalah sosok
sahabat sekaligus Ayah yang mampu menolongnya keluar dari permasalahan. Ketika
ia tertimpa masalah dan tersadar bahwa tak ada Ibrahim lagi untuk dimintai
nasihat, ia kemudian teringat akan buku “pemberi jalan keluar” yang diwariskan
Ibrahim kepadanya. Ia membuka buku tersebut dan kebingungan membaca sederet
tulisan Arab yang ada di dalamnya. Jad kemudian pergi ke seorang temannya yang
berkebangsaan Tunisia. Jad meminta sang teman membacakan dua lembar dari buku
itu seperti yang dilakukan Ibrahim dahulu. Jad sungguh kaget ketika sang teman
membacakan makna dari dua lembar yang ia baca. Sungguh, yang dijelaskan
temannya mengena sekali untuk membantunya keluar dari permasalahan yang ia
hadapi“Buku apakah ini?” tanyanya
kepada sang teman. “Ini adalah Al Quran,
kitab suci kami, umat Islam” jawab sang teman.
Maka tak ragu lagi, Jad segera bersyahadat dan memeluk agama
Islam. Ia menjadi muslim yang taat dan mengubah namanya menjadi Jadullan Al
Qur’ani sebagai penghormatan dan takzim atas keistimewaan Al Qur’an. Kelak ia juga dikenal sebagai pendakwah Islam
yang berhasil membuat masyarakat Afrika tertarik memeluk Islam tanpa paksaan.
Bahkan Ibunya yang selama tiga puluh tahun berupaya memaksa Jad kembali ke
agama Yahudi baru memeluk Islam dua tahun setelah Jadullah meninggal dunia.
Sang ibu bercerita bahwa Jad tertarik memeluk Islam karena Ibrahim tak pernah
mengeluarkan kata-kata buruk meski ia mencuri permennya setiap hari selama
berbulan-bulan. Ibrahim juga membantunya mengatasi setiap permasalahan setiap
kali selesai membaca Al Quran. Lihatlah apa yang dilakukan si pemilik toko pada
pencuri permennya. Cinta kasih mengubah keburukan menjadi sebuah kebaikan penuh
kedamaian.
Saya, pertama kali membaca kisah ini dari status seorang teman di FB, tentang film "Si Yahudi yang mengIslamkan jutaan orang" ternyata ini kisah nyata dan difilmkan dengan aktor utamanya adalah Omar Shareef. Lalu saya menuliskannya kembali dari beberapa sumber berita terpercaya.
No comments:
Post a Comment