Meraih nilai akademik di
atas rata-rata kelas biasanya menjadi tujuan para siswa sekolah. Sehingga yang
dikejar adalah nilai akademis belaka, terkadang dengan menghalalkan berbagai
cara. Yaa saya dulu waktu SMP pernah coba-coba nyontek dan ketahuan alamaak, udah malu aja. Namun berbeda halnya dengan di Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) Di
Pondok Gontor dikenal slogan: “Ujian untuk Belajar, bukan Belajar untuk Ujian”
Ungkapan bahwa “Ujian untuk
Belajar, bukan Belajar untuk Ujian” bukan berarti santri Pondok Gontor
bersantai-santai menjelang ujian. Justru mereka juga mengingat petuah para
ustadz “barang siapa belajar hingga
berdarah-darah di bulan Sya’ban akan mereguk bahagia di bulan Ramadan” Bulan
Sya’ban adalah ujian akhir kenaikan kelas, dan libur sekolah beserta pengumuman
kenaikan kelas diselenggarakan di bulan Ramadan. “Ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian” mengandung pesan
bahwa dalam ujian itulah sebenarnya para santri belajar mengukur kemampuannya
sendiri. Dan hendaknya materi yang dipelajari tidak hanya bermanfaat ketika
menjawab soal ujian, tetapi bermanfaat sepanjang kehidupan.
Berkaitan dengan nilai rapor
dan pertimbangan kenaikan kelas, sistem kurikulum Kulliyatul Mu'allimin
Al-Islamiyah (KMI) yang diterapkan di Pondok Gontor tidak hanya
mempertimbangkan nilai rapor, tetapi juga nilai adab santri. Nilai adab ini
termasuk penilaian terhadap kesungguhan santri ketika belajar, baik di ruang
kelas maupun dalam kehidupan berasrama. Maka dalam aktivitas sehari-hari para
santri berupaya untuk selalu taat peraturan, termasuk peraturan saat ujian.
Melakukan
kecurangan saat ujian di Pondok Gontor bisa fatal akibatnya. Santri bisa
dikenai sanksi akademis, mulai dari skorsing,
dimutasi ke cabang lain atau bahkan dikembalikan kepada orang tua dan tak akan
pernah kembali ke pondok lagi. Gagal dalam menempuh ujian adalah hal yang
sangat tak diinginkan. Maklum, jika
dirasa si santri kurang secara penilaian akademik maupun adab kemungkinan besar
ia tidak akan naik kelas dan harus mengulang di tingkat yang sama.
Penilaian
kenaikan kelas Pondok Gontor sangat ketat. Bisa saja santri tidak naik kelas
lebih dari dua kali sepanjang ia mengenyam pendidikan. Tak ada pilihan lain
bagi santri kecuali bersiap sebaik mungkin menempuh ujian. Menjelang ujian pondok
mengondisikan santri untuk “belajar malam” yaitu kewajiban belajar di luar
kamar asrama. Usai sholat Isya berjamaah dan makan malam, santri dipersilahkan
belajar di masjid, di bawah pohon, di lapangan basket, di mana saja demi
mencari tempat yang nyaman. Terkadang belajar malam dibimbing oleh wali kelas,
bersama-sama belajar di ruang kelas sehingga santri punya kesempatan untuk
bertanya materi yang belum benar-benar dipahami. Keleluasaan belajar bersama
wali kelas tak bertahan lama. Sebab usai ujian lisan, sekitar tiga hari
menjelang ujian tulis serentak diselenggarakan para santri tak diperbolehkan
lagi menemui para ustadz.
Sebagai
langkah menginspirasi santri agar belajar lebih giat di musim ujian, seluruh
area pondok dihiasi papan, banner, spanduk berisi tulisan motivasi.
Mengingatkan pentingnya belajar, menuntut ilmu demi masa depan. Tak ketinggalan
kafe-kafe mini dadakan yang dikelola para ustadz dibantu santri kelas enam
menyajikan makanan dan minuman lezat yang tak biasa dinikmati. Hal-hal unik yang
hanya bisa dinikmati selama musim ujian ini bertujuan menambah semangat belajar
para santri.
Para santri
Pondok Gontor terbiasa memacu diri belajar hingga dini hari. Tidur sekitar dua
atau tiga jam kemudian bangun sebelum subuh untuk menunaikan sholat malam. Kemudian
beraktivitas seperti biasa, ada yang melanjutkan belajar, membaca dan menghafal
di depan antrian kamar mandi. Tak jarang antri di dapur untuk sarapan pun
sambil membaca buku.
Jadwal ujian lisan bisa jadi berbeda meski duduk di kelas yang sama. Sambil menanti giliran diuji oleh empat orang penguji, para santri biasa belajar lagi di depan ruang ujian. Ujian tulis dilaksanakan secara serentak selama dua pekan usai seluruh ujian lisan diselesaikan. Para santri harus berada di dalam ruang ujian tulis sebelum jam 7 pagi. Seperti saat kegiatan sekolah, menuju ruang ujian pun para santri juga berlari-lari. Tempat duduk ruang ujian tulis diatur sedemikian rupa sehingga dalam satu bangku yang sama ditempati santri dari tingkat kelas KMI yang berbeda. Tujuannya demi meminimalisir kecurangan yang mungkin terjadi. Meja diputar menghadap ke depan sehingga tak ada yang bisa disembunyikan di dalam laci.
Bagi santri Gontor saat-saat ujian adalah saat paling mendebarkan. Masa depan bagai dipertaruhkan, namun satu hal yang senantiasa mereka upayakan: menempuh ujian dengan menomorsatukan kejujuran. Bagai kata pepatah “sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak kan percaya.”
Nah iya, bener banget ini ujian untuk belajar bukan belajar untuk ujian. Pas banget untuk anak sekolah yang bentar lagi akan UAS.
ReplyDelete