catatan seorang ibu, wanita, hamba sahaya yang ingin berbagi pikiran dengan dunia

Mengajar Mengaji Demi Mengejar Rahmat Illahi

Jika ada yang bertanya, siapa sosok yang sangat berkesan dalam hati, saya tak ragu menceritakan sosok wanita ini. Kami mengenal beliau dengan sebutan Bu Choiri. Choiri adalah nama sang suami. Nama beliau sendiri Harnanik, panggilan keluarga dekatnya Nanik tetapi saat menjadi santriwati di pondok pesantren saat remaja, beliau dipanggil dengan sebutan Ririn.
Beliau adalah tamatan pondok pesantren setingkat SMA di pedalaman Kota Malang. Dalam suatu kesempatan beliau dengan lugas bercerita bahwa beliau tak sempat melanjutkan menuntut ilmu hingga perguruan tinggi sebab orang tua beliau memanggil untuk pulang kembali sebab harus berbagi biaya sekolah dengan adik-adiknya. Sebagai sulung yang berbakti dengan orang tua, beliau menurut tanpa keberatan. Dan kemudian menghabiskan waktu dengan belajar dari satu pengajian ke pengajian. Dari kelas tahsin ke kelas tahsin dalam berbagai metode mengaji, mulai dari ummi, qiro'ati, tilawati hingga wafa.

Menemani Jalan Hijrah Yang Tak Mudah
Masih teringat saat pertama berkenalan dengan Bu Choiri alias Mbak Nanik di masjid. Saat itu saya baru berhenti bekerja dan berupaya untuk berhijrah. Saya, sudah berusia hampir 40 tahun belum bisa mengaji dan sholat sering terlambat dari waktunya. Demi dunia yang tak pernah terasa cukupnya, saya merasa lalai menekuni ajaran agama. Hijrah untuk menjadi lebih baik bukan hal mudah. Kami dikepung kesulitan keuangan di masa awal saya mulai berhenti bekerja. Suami terPHK, kondisi keuangan keluarga makin goyah. Tetapi saya mencoba bertahan untuk lebih dekat kepada Tuhan. 

Qodarullah, Sang Kuasa menuntun saya agar mendatangi rumahNya. Bukan...bukan baitullah di tanah suci. Tetapi masjid di perumahan yang berjarak hanya beberapa langkah kaki tetapi nyaris tak pernah kami kunjungi. Beruntung, di sana awal mula bertemu dan membawa saya lebih mengenal Allah ...dan Bu Choiri. Padahal rumah beliau berada di gang belakang rumah kami. Ketika masih bekerja, berangkat pagi pulang malam nyaris saya tak mengenal para tetangga. 


Dari beliaulah saya banyak belajar, bagaimana lebih tekun dalam beribadah, bagaimana berbuat baik kepada para tetangga. Tentang kesederhanaan, tentang kesungguhan, tentang keikhlasan. Setiap kali ada acara keagamaan di masjid, beliau pasti suka rela menjadi seksi sibuknya. Mondar-mandir mengurus konsumsi, bisa jadi terkadang mengeluarkan dana dari kantong sendiri manakala anggaran terbatas sekali. Beliau adalah pionir pengajian yasin tahlil Baiti Jannati setiap Kamis dua pekan sekali. Sesekali berdakwah melalui grup qasidah dan menggemakan sholawat nabi. Jika ada tetangga yang kesusahan, entah sakit atau musibah kematian, bisa dipastikan beliau yang paling awal untuk membantu meringankan beban. Jika melihat saya mengalami ujian kehidupan, beliau tak terhitung beberapa kali membantu dan dengan sabar menghibur melalui kalimat motivasi "sakniki poso bu, mangke dhateng akhirat saged riyoyo" (di dunia sama halnya berpuasa bu - karena banyaknya ujian hidup - nanti di akhirat saatnya berhari raya mereguk nikmat)

Bu Choiri pula yang mengajak saya untuk belajar mengaji di masjid setiap sore, sepekan tiga kali. Dia mengupayakan agar di masjid dibuka kelas mengaji untuk ibu-ibu dengan mentor guru mengaji bersertifikat dan telah teruji. Padahal beliau sendiri sudah mengantongi sertifikasi guru mengaji, layak mengajar membaca Al Qur'an tetapi tak pernah lelah untuk giat belajar menyempurnakan bacaan. Tiga tahun saya belajar mengaji atas ajakan beliau, alhamdulillah bacaan sudah semakin baik dan tidak kacau. Malu rasanya mengenang masa lampau.
Bu Choiri, mukena putih biru sang guru mengaji
Lebih jauh dekat mengenal Bu Choiri dan kesehariannya, saya jadi tahu beliau juga mengajar mengaji di rumahnya. Mengajar dengan ikhlas, tanpa mengenakan tarif dan biaya. Bahkan seringkali menyediakan camilan dan minuman untuk anak-anak atau ibu-ibu setengah baya yang menjadi muridnya "Ben lare-lare nyaman, rajin ngajine" (artinya: agar anak-anak merasa nyaman dan kian rajin belajarnya) begitu alasan beliau jika ditanya. Bisa dibayangkan betapa sibuknya. Pagi setelah dhuha hingga menjelang dhuhur mengajar mengaji ibu-ibu yang belum mengenal huruf hijaiyah sama sekali. Sore dan ba'da Maghrib mengajar anak-anak usia 7-13 tahun. Semua dilakukan sendiri tanpa asisten yang menemani.

Mengajar Mengai Demi Rahmat Illahi
Pernah suatu ketika, saya merasa sungkan menitipkan anak bungsu saya untuk belajar mengaji kepadanya tanpa biaya, malah makan dan minum sepuasnya. Saya pun berinisiatif membawakan sembako sebagai sekadar rasa terimakasih. Beliau malah menegur dengan lembut tetapi pancaran matanya merasa keberatan. "Bu, sampun ngoten. Kula niki mados sangu kangge akhirat, kula mboten gadhah punopo-punopo kecuali ilmu. Panyuwun kula dhateng Gusti Pangeran, mugi wakaf, sedekah ilmu kula niki saged pikantuk rahmat kaliyan syafaat mbenjing dhateng akhirat" (Bu, tidak usah repot-repot bawa sesuatu, Saya ini mengumpulkan bekal untuk akhirat. Saya tidak memiliki apa-apa kecuali ilmu. Doa dan harapan saya kepada Allah semoga apa yang saya lakukan -mengajar mengaji-bisa mendatangkan rahmat dengan kelak mampu memberikan syafaat di akhirat.
Saya terharu, dan sedikit menyesal dengan kenekadan saya membawakan beliau bingkisan. Khawatir beliau marah karena kurang berkenan. Saya pun berkali-kali meminta maaf dan membawa kembali bingkisan tersebut. Beliau dengan senyum terkembang memaafkan dan tidak ada yang berubah sejak kejadian itu. Putra bungsu saya tetap belajar mengaji setiap hari. Hasilnya sangat membanggakan, di usia sebelum 10 tahun bacaan Al Quran si bungsu bagus sekali, sempurna tajwid dan tartilnya. Berbeda dengan saya yang baru menekuni Al Quran ketika beranjak tua.
Ketika saya mencurahkan keinginan untuk mengirim si bungsu ke pondok tahfidz Al Qur'an kelak setelah lulus sekolah MI, beliau dengan suka rela menawarkan melatih hafalan juz 30 di sore hari setiap akhir pekan, padahal Sabtu dan Ahad adalah saat suami beliau yang bekerja di luar kota datang berkunjung setiap pekan sekali. Saya khawatir kelas tambahan itu akan mengganggu. Tetapi beliau meyakinkan bahwa yang dilakukannya, mengajar mengaji adalah dorongan dari suaminya. Ketika saya berupaya mengorek dari si bungsu, bagaimana reaksi suami beliau saat melihat kelas mengaji tambahan untuk hafalan Al Quran yang khusus untuk putra saya seorang, jawabnya "Pak Choiri ikut murojaah Ma, dan memberikan tips menghafal Al Qur'an agar tidak ganti-ganti kitab katanya biar nggak bingung dan lupa tulisan atau bacaan" MasyaAllah...tabarakallah...suami istri ini benar-benar contoh teladan yang baik di tengah masyarakat. Saat sebagian orang terlena dengan duniawi, mereka berdua berorientasi surgawi. 

Benar adanya jika ilmu tak hanya direguk melalui duduk dalam sebuah majelis. Sebab saya mendapatkan berbagai ilmu, pengetahuan, kebajikan dari Bu Choiri dengan cara yang manis. Secara tidak langsung, beliau mengajarkan pentingnya beramal shalih, amal jariyah yang mengalirkan pahala tiada henti di akhirat nanti. Layaknya pahala yang dialirkan amalan wakaf untuk umat melalui cara yang tepat.

Mengenal Wakaf Lebih Dekat
Dunia ini sementara. Akhirat kekal adanya. Membandingkan dunia dan akhirat akan selalu teringat pesan Rasulullah: 
Hiduplah kalian di dunia seakan-akan seperti orang asing, atau seperti seorang pengembara.Jika engkau berada di petang hari, janganlah tunggu sampai datang pagi. Jika engkau berada di pagi hari, janganlah tunggu sampai datang petang. Manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu. Manfaatkanlah pula waktu hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Bukhari, no. 6416)


Maka, sudah selayaknya kita berbekal berbagai amalan yang sekiranya bisa membantu meringankan siksa, memperberat timbangan amal kebaikan di akhirat nanti. Timbangan amal kebaikan tidak hanya dari ibadah yang didirikan dalam konteks interaksi langsung dengan Allah seperti sholat, puasa dan tilawah tetapi juga interaksi dengan sesama manusia melalui zakat, infaq, shodaqoh dan wakaf. Zakat adalah nominal yang wajib dikeluarkan dari sebagian harta, infaq adalah sedekah berupa harta benda yang tidak wajib tetapi disarankan, shodaqoh adalah segala bentuk kebaikan yang ditujukan untuk membantu sesama. 
Wakaf adalah menyalurkan harta benda untuk kemaslahatan, kepentingan umat dan masyarakat sehingga pahala jariyah akan selalu mengalir kepada si pemilik harta yang diwakafkan meski telah meninggal dunia asal peninggalan tersebut masih bermanfaat.
Wakaf memiliki syarat dan karakteristik sebagai berikut:
1. Bernilai guna saat orang yang mewakafkan meninggal dunia
2. Bermanfaat untuk jangka panjang
3. Bersifat sukarela
4. Dimanfaatkan sesuai nilai dan prinsip syariah dan nilai ekonominya tidak berkurang bahkan berkembang.

Wakaf Melalui Unit Link Allisya Protection Plus 
Bicara tentang wakaf, saya teringat produk Asuransi Wakaf Allianz Indonesia. Selama ini saya berpikir wakaf harus memiliki harta yang berlebih untuk diwariskan.Rumah yang diwakafkan untuk menjadi panti asuhan, tanah untuk dibangun masjid, pondok pesantren atau sekolah agama atau instalasi pengairan seperti sumur milik Utsman Bin Affan yang tetap berfungsi hingga saat ini. Ternyata saya salah, sebab wakaf bisa dibayarkan atau dikumpulkan secara berkala melalui kontribusi asuransi. Produk asuransi Jiwa Unit Link Allisya Protection Plus contohnya. Produk ini merupakan gabungan produk asuransi jiwa dan amalan wakaf. Sehingga saat peserta asuransi meninggal dunia, ahli warisnya akan menerima klaim asuransi sesuai perjanjian pada polis, serta pihak Allianz akan mengeluarkan dana wakaf kepada penerima manfaat sesuai nominal yang disepakati dalam polis dan telah ditandatangani penerima manfaat yang ditunjuk. Fitur wakaf dalam AlliSya Protection Plus ini insyaAllah berkah sebab pahalanya akan selalu mengalir, ringan karena bisa diupayakan secara berkala, amanah sebab dana wakaf diserahkan pada pengelola wakaf terpercaya dan sumbang sihnya jelas bagi masyarakat.

Produk asuransi Jiwa Unit Link Allisya Protection Plus menyadarkan kembali bahwa sejatinya manusia adalah pengelana yang butuh bekal di dunia untuk kelak mendapat kemuliaan ketika menghadap Illahi. Mbak Nanik, Bu Choiri telah mengajarkan satu hal penting: sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama. Kapan bekal kita cukup? manusia tak akan pernah mampu menjawabnya, maka sudah sepatutnya menabung dana wakaf selagi bisa. Dan kelak ketika kita meninggal dunia, dana tersebut tersalurkan sesuai prinsip syariah oleh pihak terpercaya.

Share:

No comments:

Post a Comment

BloggerHub

Warung Blogger

KSB

komunitas sahabat blogger

Kumpulan Emak-emak Blogger

Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Powered by Blogger.

About Me

My photo
Ibu dua putra. Penulis lepas/ freelance writer (job review dan artikel/ konten website). Menerima tawaran job review produk/jasa dan menulis konten. Bisa dihubungi di dwi.aprily@gmail.com atau dwi.aprily@yahoo.co.id Twitter @dwiaprily FB : Dwi Aprilytanti Handayani IG: @dwi.aprily

Total Pageviews

Antologi Ramadhan 2015

Best Reviewer "Mommylicious_ID"

Blog Archive

Labels

Translate

Popular Posts

Ning Blogger Surabaya

Ning Blogger Surabaya

Labels

Labels

Blog Archive

Recent Posts

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.