Saat menemani suami kontrol ke RSI Siti Hajar tempo hari saya terpana membaca tulisan ini di pintu masuk menuju selasar ruang rawat inap dan gedung utama. (Padahal sudah lama terpampang tapi baru kali ini menelan maknanya)
Di pintu masuk lorong yang dingin ini terdapat papan yang mengutip QS At Taubah : 105
Jadi teringat dengan tulisan ustadz @salimafillah di facebook tempo hari:
Di pintu masuk lorong yang dingin ini terdapat papan yang mengutip QS At Taubah : 105
"Bekerjalah kamu maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu"
Sungguh, keberadaan kita di dunia ini hanya karena menjalani takdirNya. Bekerjalah, bukan berarti sekedar bekerja mencari nafkah, mengais materi. Tetapi bekerja mengandung hikmah mengoptimalkan segenap karuniaNya dengan landasan cinta, ibadah, perwujudan rasa syukur kepadaNya.
Jadi teringat dengan tulisan ustadz @salimafillah di facebook tempo hari:
Di antara yang menakjubkan dari Bangsa Turki adalah kesungguhan
dan standar tinggi dalam mengerjakan sesuatu. Lihatlah tukang semir di dekat
Yeni Camii di tepi Bosphorus ini. Sebuah singgasana untuk pelanggan, karena
pemakai jasa adalah raja baginya. Sebuah landasan dengan tatakan-tatakan
berukir berwarna keemasan. Semir berbagai jenis dan warna tersedia, peralatan
gosok dari bermacam sikat hingga aneka kain pengilap pun ada. Dan bahkan jika
sepatu kita kurang kelengkapannya, dia sediakan hingga alas lembut maupun kaos
kaki yang sesuai.
Sepasang sepatu saya ini, pengerjaannya hampir sepuluh menit,
dengan 4 macam semir, dan 5 teknik gosokan. Masyaallah.
Ah, memang, justru sebab rizqi kita telah dijaminkan, maka makna
kerja kita adalah pengabdian seutuhnya kepada Allah. Justru sebab kita tahu
bahwa bekerjanya kita maupun karunia yang dilimpahkan melaluinya keduanya
sama-sama anugerah, maka bekerja sudah seharusnya ditunaikan dalam gembira.
Justru sebab kita tahu bahwa kerja kita bukanlah penentu dari apa yang kita
nikmati, maka bekerja sudah seharusnya merupakan bentuk luapan syukur kita pada
Dzat Yang Maha Bijaksana.
Bekerja adalah ibadah sehingga sudah semestinya ditekunkan
dengan ‘itqan, bahkan seyogyanya diperjuangkan sampai ihsan.
“Sesungguhnya Allah cinta kepada hamba yang berkarya dengan
‘itqan, -tekun dan terampil-. Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk
keluarganya, maka dia serupa dengan seorang yang berjuang di jalan Allah.” (HR
Ath Thabrani dan Al Baihaqi)
Penting untuk kita pahami bahwa lapis-lapis keberkahan bukan
hanya terdapat pada rizqi yang Allah karuniakan pada kita. Lebih dari itu, ia
justru teranugerahkan dalam kesungguhan kita menekuni pekerjaan hingga
berketerampilan. Ialah berkah, sebab cinta Allah terjanji pada hamba yang
demikian. Ialah berkah, sebab mencari nafkah adalah sebentuk ibadah. Ialah
berkah, sebab susah payahnya bernilai jihad fi sabilillah.
“Wahai Hakim,” demikian Sang Nabi ï·º bersabda dalam riwayat
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, ”sesungguhnya harta benda ini kelihatan hijau
dan manis. Barang siapa mengambilnya dengan cara yang baik, maka ia akan
diberkahi. Dan barang siapa mengambilnya dengan berlebihan, maka ia tidak akan
diberkahi, yaitu seperti orang yang makan dan tak pernah kenyang.”
Semoga Allah karuniai kita kekuatan untuk menjadi seorang Muslim
yang ‘itqan dalam kerjanya. Hingga tangan yang kasar dan berkapal, terperisai
dari sentuhan api neraka. Hingga dosa-dosa yang menghitamkan hati, luruh
bersama tiap butir keringat yang mengucur.
Dan semoga kita dikaruniai kekuatan untuk menjadi seorang mukmin
yang ihsan dalam kerjanya. Yang menjadikan Allah sebagai sumber semua
tenaganya. Yang menjadikan Allah sebagai yang paling diharapi ganjaran dariNya.
Dengannya, semoga kita mampu bekerja melampaui apa yang diharapkan manusia,
baik atasan, rekan, maupun bawahan.
Sebab kita yakin, andaipun mata ini tak melihat Allah, sungguh
dia senantiasa menyaksamai kita. Sebab kita yakin, andaipun tak ada manusia
yang mengawasi kita mengerahkan daya dan mencurahkan tenaga, ada Allah yang
lengkap catatanNya dan teliti perhitunganNya. Sebab kita yakin, andaipun ada
jam kerja yang tak terhitung dalam gaji dan penghargaan manusia, balasan di
sisi Allah jauh lebih kita harap dan kita suka.
Tulisan ini membuka mata (hati) saya. Seringkali saya memandang sesuatu dari besarnya "materi" misalnya fee kerjaan yang lebih gede otomatis semangat ngerjainnya lebih gede. Fee kerjaan yang kecil saya pun memandangnya sebelah mata dan seperti ogah-ogahan (padahal butuh juga hehe). Mungkin cara pandang saya salah dalam menyikapi etika bekerja. Harusnya semua pintu dianggap sebagai karunia Allah, bekerja haruslah dianggap sebagai bagian dari ibadah. Bukankah Allah memerintah kita untuk *BEKERJA* nah bekerja mencari nafkah adalah bentuk dari karya dan cara kita mengoptimalkan karunia Sang Pencipta berupa kesehatan dan panca indera.
Namun di sisi lain saya sering merasa "marah" ketika dibayar terlalu murah padahal yang membayar bisa beli mobil, rumah, umroh dan lain-lainnya. Tapi salah sendiri kenapa tak kunjung mandiri, meski freelance tapi tetep aja ngandelin dapat fee orderan hahaha. Sungguh, penuturan Ustadz Salim A Fillah tentang penyemir sepatu Turki yang full service seperti itu.
Duh jadi malu, mudah-mudahan masih bisa memperbaiki diri. Mengoptimalkan segala pemberianNya dengan memanfaatkan sebaik-baiknya di jalan kebaikan. Apapun itu. Entah itu menulis, mengurus rumah, merawat suami yang butuh perhatian ekstra di masa recovery, menemani si kecil belajar, memompa semangat si sulung nun jauh di sana. Banyak lagi dan masih banyak lagi...
Semoga Allah memudahkan ...aamiin
No comments:
Post a Comment