Februari 2022 telah berjalan beberapa hari. Saya baru update blog setelah hari di Februari berlalu keempat kali. Dua hari terakhir ini saya mendapat pelajara tentang asumsi. Yang membuat saya merenung, nyeseg sekaligus geli.
Pelajaran pertama tentang "dipaksa sedekah" Kamis malam lalu taklim tempat saya belajar mengaji mengadakan kajian rutin. Di sebelah duduk seseorang yang titip membayar tagihan pulsa berupa selembar uang kertas merah bergambar proklamator. Saya mengulurkan selembar uang kertas bergambar Idham Chalid sebagai kembalian. Uang pulsa itu saya masukkan ke saku tas bercampur dengan "kertas Idham Chalid" yang lain. Uang-uang tersebut biasa saya pilih sebagai uang infaq rutin setiap kajian. Waktu tas infaq berkeliling, seingat dan asumsi saya, uang Idham Chalid itu yang saya masukkan.
Dipaksa sedekah, Pixabay |
Saya juga merasa geli karena dipaksa Allah untuk sedekah hahaha. Kalau nggak dipaksa seperti itu pasti terasa susah bersedekah "bersama proklamator" hahaha apalagi saat dompet hanya berisi dua lembar, proklamator dan Ir. Juanda.
Kadang-kadang tetangga saya titip uang pembayaran tagihan listrik, pdam, pulsa jika ketemu di masjid saat jamaah atau di majelis taklim. Dan saya sering membatin, duh semoga saya nggak salah masukin uang modal ini ke kotak infaq. Hahaha dan malam itu Allah menyentil saya yang sering itung-itungan ketika bersedekah sekaligus terlalu mengkhawatirkan masa depan. Beda jauh dengan para relawan. Ya, saya tak mampu bersedekah seperti Rasulullah yang sedikit-sedikit bersedekah hingga nyaris tak punya apa-apa. Saya bersedekah sedikit saja, secukup perhitungan saya dan menabungnya sebagian lagi untuk jaga-jaga biaya sekolah anak-anak atau perawatan rumah. Tabungan saya nggak banyak juga sih, masih jauh dari kewajiban bayar zakat maal karena belum mencapai nishab bahkan tak sampai separuhnya.
Tapi yaa itulah, nyesek nyesek lega. Meski dipaksa sedekah, mudah-mudahan tetaplah berkah. Sungguh asumsi "Idham Chalid" yang tak sesuai prediksi ahahaha.
Pelajaran kedua adalah asumsi dari kabar sakit tetangga. Salah saya juga sih kadang KEPO baca status-status WA kontak Hp. Kaget waktu baca status WA tetangga yang berbunyi "mohon maat atas segala kesalahan saya" disusul status berikutnya "masih di RS XXXX"
Lalu saya menanyakan siapa yang sakit. Dia jawab dia yang sakit karena ada benjolan di payudara. Waktu saya membesarkan hatinya bahwa itu mungkin hanya jaringan lemak dan tak tumbuh lagi setelah diangkat, dia bilang indikasi tumor. Dia juga bilang sakit demam tinggi sejak beberapa hari sebelumnya.
Asumsi saya saat itu dia menginap di RS untuk mendapat penanganan secepatnya karena adanya indikasi tumor, setidaknya tindakan biopsi membutuhkan waktu minimal semalam untuk mengambil jaringan (sungguh ini juga asumsi saya berdasarkan pengalaman teman yang mengalami hal yang sama)
Lalu saya kabarkanlah ke bu RT. Harapan saya meski kami tak bisa jenguk beramai-ramai karena kondisi pandemi, minimal uang sosial bisa disiapkan dan dititipkan ke perwakilan yang bersedia menjenguk. Biarpun sedikit kan lumayan buat bantu-bantu.
Bu RT lalu mengabarkan sakit beliau di WAG RT untuk dimintakan doa kesembuhan. Eh waktu saya tanya lagi tetangga yang sakit dia dirawat di ruang mana, beliau jawab tidak opname, hanya periksa saja. Waduh, asumsi saya salah. Jadi nggak enak sama bu RT. Buru-buru saya merevisi kabar, mengklarifikasi dan minta maaf pada bu RT seolah saya mengabarkan hoax. Bu RT menghibur bahwa tujuan kita baik kok, memintakan doa untuk kesembuhan.
Saya juga ngaku ke tetangga yang sakit bahwa saya yang kirim kabar ke bu RT. Waduh saya beneran merasa tak enak. Harusnya saya melakukan verifikasi sebelum menyampaikan kabar
Wow banget nih. Dua hari berturut-turut mendapat pelajaran hidup karena asumsi yang salah wkwkwk. Apa karena saya hobi banget ber-asumsi yaa.
Semoga di kemudian hari saya tak mengulangi kesalahan-kesalahan akibat asumsi
Beginilah suka duka sedekah, kadang memang sayang banget kalau uang merah muda masuk ke infaq apalagi sudah dimanajemen dengan baik uang gajian. Jadi malu dan nyesek juga kalau dalam posisi kayak gini, hehe, intinya ikhlas ajalah.
ReplyDeletesalah berasumsi aku juga pernah mengalami, biasanya ya karena saya ogah mau nanya lebih lanjut dan akhirnya berspekulasi
ReplyDeletekadang kalau udah terlanjur salah dan fatal, pastinya nyesel