Mengapa harus ada kematian, meski hidup dijalani penuh ketaatan?
Allah menjawab:
"Dialah Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji siapa diantara kalian yang terbaik amalnya”. [QS. Al-Mulk:2]
Apakah benar kami bisa menunda
kematian, jika menempuh jalan pengobatan yang lebih canggih dan kami bersumpah
akan menjadi insan yang lebih baik lagi jika diberikan kesempatan kedua?
Allah menegaskan:
"Maka jika datang waktu
kematian mereka, tidak bisa mereka tunda dan mendahulukannya sedetikpun"
QS. An-Nahl: 61
Sungguh tak ada yang bisa disombongkan sesosok makhluk, ketika menyaksikan kematian di depan mata. Ketika diingatkan bahwa bagaimanapun ia hidup di dunia, kelak sang maut pasti membuatnya takluk.
Kemana perginya roh-roh yang
telah terpisah dari jasadnya, menunggu dibangkitkan ketika hari kiamat tiba?
Dalam sebuah riwayat,
Abdullah bin Amru, ia berkata, “Arwah orang-orang yang beriman berada di tenggorokan burung khudr seperti Az-Zaraazir (burung tiung), mereka saling berkenalan dan dikaruniai rezeki dari buah-buahan surga. Abdullah mengatakan adanya sebagian orang yang berpendapat bahwa arwah para syuhada itu berada di tenggorokan-tenggorokan burung kudhr, mereka terbang menuju kendil-kendil dalam surga yang bergantung pada Arsy Allah.
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran 93) : 169)
Saya menulis renungan-renungan itu sekitar 10 hari setelah Mama meninggalkan dunia. Salah satu episode paling pedih dalam hidup yang tak akan terlupa ketika saya harus men-talqin sosok yang menjadi perantara hidup di dunia. Melepasnya pergi menghadap Sang Pemilik Kehidupan, tepat di depan mata.
12 Rabiul Awal adalah hari yang biasa dirayakan penuh suka cita, ketika umat muslim menyambut hari kelahiran nabi nan mulia. Tetapi, setiap kali 12 Rabiul Awal tiba, mungkin setiap kali itu pula ada perih menggores dada, sebab tepat 12 Rabiul Awal 1441 H, sekitar pukul 09.00 Mama saya pergi, usai 7 hari tak sadarkan diri, koma di RSUD Dr. Moh Saleh Probolinggo karena stroe serangan pertama sekaligus terakhir yang beliau alami.
Jangan ditanya seperti apa rasanya. Antara sedih, tak percaya, tertegun karena seolah sedang mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Hingga ada rasa lega karena telah menghantarkan beliau hingga titik terakhir, menyaksikan kepergian beliau yang halus dan insyaAllah tidak menyakitkan. Tak ada nafas tersengal, tak ada hentakan kasar, tak ada suara rintihan. Beliau pergi dengan tenang, bagai sedang tidur panjang dalam wajah yang ikhlas tanpa beban.
Episode maha dahsyat yang sempat meluluhlantakkan hati dan perasaan hingga titik terendah dalam hidup saya. Sebab saya merasa belum mampu membahagiakan Mama. Belum sempat memohon ampun atas segala dosa. Bahkan terakhir kali bertemu beliau beberapa hari menjelang Ramadhan 1441 H, ketika pandemi corona baru menyeruak di bumi Indonesia. Kami nekad pinjam mobil tetangga menjenguk Mama, meski tetap jaga jarak, tidak salim atau sungkem seperti biasanya, kemudian harus mendapat kunjungan dan serangkaian pertanyaan dari pak RT, maklum pas heboh-hebohnya corona. Nekad, tiba jam 7.30 pagi, habis dhuhur langsung balik Sidoarjo.
Tak ada yang mengira, episode kehilangan Mama terjadi tahun ini. Firasatku tahun lalu menjelma nyata, ketika merasa lebaran tahun lalu bisa saja menjadi lebaran terakhirku bersama beliau.
Nekad mudik sendirian, karena penyakit asam urat suami sedang kambuh. Mudik dalam kondisi flu berat di hari terakhir puasa Ramadhan. Lalu balik Sidoarjo pada Lebaran hari kedua karena anak-anak kebingungan mau makan apa. Papanya tak bisa berjalan jauh, Mamanya di luar kota.Dan firasat itu benar adanya. Lebaran tahun ini kami tak sempat berkunjung karena PSBB. Meski PSBB telah ditiadakan pun Mama tak berkenan menerima kunjungan karena khawatir terhadap Covid-19 sedang beliau memiliki riwayat Komorbid dan anak-anaknya dari zona merah membara semuanya.
Ikhlas, ridho...sedih, menyesal, nelangsa...semua menjadi satu, tumpah ruah menyesakkan dada.
Bagi siapapun yang masih memiliki orang tua, perlakukanlah mereka sebaik-baiknya. Sebab bisa saja maut datang tiba-tiba dan kita tak sempat memohon ampun kepada mereka.
Sungguh benar nasihat Rasulullah,
hiduplah di dunia bagai seorang pengembara. Senantiasa waspada, memeriksa
perbekalan sebab paham akan melanjutkan perjalanan berikutnya ketika saatnya
tiba.
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Ikut mendoakan suwargi mama. Allaahummaghfirlaha warhamha wa 'afihi wa'fu 'anha. Al Fatihah, aamiin. *Peluk, Dwi 🤗
ReplyDelete