catatan seorang ibu, wanita, hamba sahaya yang ingin berbagi pikiran dengan dunia

Pengalaman-pengalaman Tak Terlupakan di Negeri di Atas Awan

Masih Berada di Bawah Awan, Dokpri
"Tidak perlu mendaki gunung untuk menjejakkan kaki di atas awan," kata seorang teman. Bagaimana bisa pikirku, kalau mau berada di atas awan berarti harus berada di ketinggian, di dalam pesawat atau di tempat tinggi sekali yaitu gunung. Kalau berada di pesawat memang bisa berada di atas awan tanpa perlu mendaki, tapi kan lumrah, nggak usah dibahas. Nah bagaimana caranya selain naik pesawat dan mendaki gunung bisa berada di atas awan?
"Melancong saja ke negeri di atas awan," lanjutnya. 
Apapula ini, pikiranku langsung melayang ke negerinya Nirmala, tapi kan itu negeri dongeng. Tapi aku tak patah semangat, ternyata negeri di atas awan itu benar-benar bisa ditemui, meski maksudnya mungkin kiasan tetapi menggambarkan bahwa ketika menjejakkan kaki di sana, maka bisa jadi awan berada di bawah kita.
Negeri di atas awan, inilah yang menjadi julukan bagi Dieng, dataran tinggi di Wonosobo, Jawa Tengah.

Sungguh beruntung, bagaikan gayung bersambut. Ketika sedang membayangkan seperti apa negeri di atas awan, suami tercinta mengajak berpetualang ke Dieng pertengahan Oktober lalu. Berbekal tiga hal : sedikit tabungan, mobil pinjaman dan nekad maka berangkatlah kami berempat menempuh perjalanan kurang lebih 10 jam dengan beberapa kali berhenti untuk sarapan dan sholat.

Namun belum sampai tujuan, masih di tengah perjalanan menuju homestay yang sudah dipesan kami sudah menemui pengalaman tak terduga.

 Pungutan liar mengurangi kenyamanan

Di sebuah ruas jalan menuju homestay yang terletak di seberang obyek wisata Pintu Langit dan Taman Langit, tampak antrian mobil berjajar. Seseorang melambaikan karcis di depan tulisan besar ; retribusi 15 ribu/orang.

Apaan nih pikirku, ruas jalan ini jalan utama, bukan jalan atau pintu masuk menuju obyek wisata kok sudah ada retribusi? Tetapi saat giliran mobil pinjaman kami berhenti di depan "oknum" si bapak ini mempersilahkan kami melintas tanpa membayar. Ya udahlah meski penasaran mengapa tidak diperlakukan sama dengan antrian mobil sebelumnya, kami pun melanjutkan perjalanan.

"Oooh mungkin kita nggak dipungut bayaran karena dia melihat topi Polisi Militer di jok depan ini Pa" kata anakku yang membuat kami sadar dan tergelak. Bisa jadi, topi Polisi Militer (PM) milik saudara si pemilik mobil yang dititipkan di jok depan ini menjadi penyelamat kami dari pungli.

Namun di hari yang berbeda, keesokan harinya saat menuju arah obyek wisata Kawah Sikidang ternyata topi PM sudah tidak punya taji, karena kami tetap harus membayar pungli yang bisa ditawar. "Tiap orang 15 ribu tetapi boleh bayar seikhlasnya Pak. jangan lupa nanti di obyek wisatanya bayar karcis masuk lagi" kata si oknum. Karena penawaran tersebut jadilah suami bayar pungli sejumlah 30 ribu. Toh nantinya di obyek wisata masih bayar lagi antara 15-20 ribu per orang. 


Pengen dapat view lautan awan tapi....

Harapan menjejakkan kaki di atas lautan awan selama berada di Dieng tak kunjung kesampaian. Padahal kalau lihat di media sosial sepertinya sering sekali pemandangan ini ditemukan. Ya sudahlah, toh sebagai gantinya kami mendapatkan pemandangan tak terduga yaitu awan mirip topi di puncak Sindoro yang bisa dipandang dari Gardu Pandang Tieng. Oh ya, untuk menikmati pemandangan di Gardu Pandang Tieng ini tidak dipungut biaya. Tetapi kalau ingin berfoto di Taman Langit dan Pintu Langit yang berada di bawahnya barulah membayar 20 ribu/orang di weekend dan 15 ribu per orang/weekdays di masing-masing spot foto.

Gunung Sindoro Bertopi Awan, Dokpri


Kejutan dari pedagang makanan di gardu pandang.
Menikmati udara pagi dan panorama pegunungan yang indah sekali kurang nikmat jika tidak ada yang menemani. Camilan adalah teman yang paling bisa membuat happy. Nah di area gardu pandang ini ada beberapa pedagang yang menjajakan kudapan. Kami sempat mencicipi bakso tusuk. Wow baru kali ini makan bakso dengan kuahnya disajikan dalam gelas setara kemasan AMDK 250 ml. Ide brilian si abang bakso agar nggak capek  cuci mangkok, toh kalau si pembeli ingin menikmati kuah bakso tinggal diminum saja seperti minum air hahaha.
Keesokan hari kami datang lagi ke gardu pandang Tieng. Sayang kan lokasinya hanya beberapa meter di seberang, harus dipuas-puasin sebelum pulang. Kali ini menyempatkan jajan sate ayam. Kirain pedagang di sini penduduk lokal. Kaget nih saat melihat abang sate mengangkat ponselnya yang berdering dan mendengar ia bercakap-cakap dengan bahasa Madura secara lancar "Dekremah, Madureh taah, tetanggaan nih kita," timpal suami yang disambut senyuman lebar si abang sate madura. Luar biasa, di ketinggian 1700 meter, sejauh 700 kilometer-an dari Jawa Timur ternyata sate madura masih berjaya.


Ternyata mie ongklok itu...

Salah satu daya tarik jalan-jalan bersama keluarga adalah wisata kuliner. Jauh-jauh dari Sidoarjo ke Wonosobo pasti rugi dong kalau nggak mencicipi makanan khas daerah sini. Sate madura dan bakso tusuk gardu pandang Tieng belum bisa disebut sebagai kuliner khas Dieng kaan, maka harus mencari makanan yang lain sebagai perbandingan.

Nah, sepanjang perjalanan dibuat penasaran papan : Mie Ongklok Wonosobo. Jadilah malam harinya berkelana ke  pusat keramaian di Titik Nol Dieng buat mencari mie ongklok yang membuatku terheran-heran.

Ternyata mie ongklok tuh mie berkuah ditambah bumbu sate. Pantesan rata-rata di kedai Titik Nol Dieng mie ongklok disajikan satu paket dengan sate sapi/ayam atau kambing. Seporsi mie ongklok - 3 tusuk sate dibandrol 25 ribu rupiah. Dagingnya gede-gede, nggak heran jika makan mie anget dan tiga tusuk sate nih perut sudah kenyang banget.


Pelajaran tentang kejujuran di Candi Arjuna

Di Dieng mau kemana aja? Pilihan obyek wisata di Dieng cukup banyak sih. Tapi suami memilih yang terdekat dengan penginapan. 2 hari 2 malam di Dieng selain ke gardu pandang Tieng dan Pintu Langit di seberang jalan, disempurnakan dengan berkunjung ke Kawah Sikidang dan Candi Arjuna. Di Dieng dikenal sistem tiket terusan. Pengunjung Kawah Si Kidang dikenai HTM 30 ribu per orang dan berlaku tiket terusan ke Candi Arjuna, alias per destinasi wisata (belum termasuk pungli di tengah perjalanan) setiap pengunjung dikenai tiket masuk 15 ribu. 

Meski gerimis yang cukup deras mulai turun, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Candi Arjuna. "Hujan nih, mending kita pulang aja," kata suami. "Aaah sayang tiketnya hangus dong, lanjut aja, paling sebentar lagi gerimisnya reda" sahutku (maklum emak-emak kan paling merasa sayang kalau ada uang terbuang) Alhamdulillah gerimis yang cukup deras akhirnya mereda saat mobil yang kami tumpangi mulai memasuki area Candi Arjuna. Kebetulan adzan dhuhur terdengar, kami sempatkan sholat di mushola dahulu sebelum berkeliling menikmati pemandangan.

Usai sholat, suami memesan empat mangkok bakso untuk sekadar mengganjal perut yang mulai keroncongan. Cuaca mendung, udara dingin menjadi katalis cepatnya isi mangkok bakso berpindah ke perut-perut yang tak tahan dengan demonstrasi cacing-cacing minta perhatian.

Saya dan suami bergegas menuju pintu masuk. Si kakak dan adik masih tertinggal di belakang. Ketika kami bertemu di pintu masuk, si adik bercerita "Ma, tukang bakso itu tadi nemu HP ketinggalan di mushola" "Terus?" tanyaku penasaran. "Lalu dia menyerahkan ke petugas penjaga di area pengumuman karena tidak ada pengunjung yang mengakui hapenya ketinggalan" sahut di adik menutup cerita.

Alhamduillah. Di zaman edan ternyata masih banyak orang yang memegang teguh kejujuran. Padahal bisa aja salah seorang dari ribuan pengunjung mendatangi abang bakso untuk mengaku sebagai pemilik ponsel atau bahkan si tukang bakso bisa menyimpannya untuk keperluannya sendiri. Tetapi ternyata tidak demikian, semoga saja ponselnya sudah kembali ke tangan si tuan.

Dua hari dua malam di Negeri di Atas Awan rasanya kurang. Meski banyak kenangan tak terlupakan. Mandi dan berwudhu dengan air berasa air es, menikmati teh hangat yang mendadak jadi es teh hanya karena didiamkan, tidur malam harus berselimut dan berjaket kapan lagi bisa kami rasakan. Jika ada kesempatan dan cukup tabungan, rasanya ingin berkunjung kembali kapan-kapan. Berpetualang di Batu Ratapan Angin, Puncak Sikunir, Swiss Van Java dan beberapa tempat lain. Semoga saat Allah kabulkan, pungli-pungli di Dieng sudah ditiadakan.

Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI 
Share:

1 comment:

  1. Keren Kak. Jadi ingin ke Dieng lagi. Suasana dan udaranya yang dingin bikin tambah candu dan rindu.

    ReplyDelete

Kumpulan Emak-emak Blogger

Blogger Perempuan

Blogger Perempuan

Ning Blogger Surabaya

Ning Blogger Surabaya

BloggerHub

Warung Blogger

KSB

komunitas sahabat blogger
Powered by Blogger.

About Me

My photo
Ibu dua putra. Penulis lepas/ freelance writer (job review dan artikel/ konten website). Menerima tawaran job review produk/jasa dan menulis konten. Bisa dihubungi di dwi.aprily@gmail.com atau dwi.aprily@yahoo.co.id Twitter @dwiaprily FB : Dwi Aprilytanti Handayani IG: @dwi.aprily

Total Pageviews

Antologi Ramadhan 2015

Best Reviewer "Mommylicious_ID"

Blog Archive

Labels

Translate

Popular Posts

Labels

Labels

Blog Archive

Recent Posts

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.