Masih Berada di Bawah Awan, Dokpri |
Pungutan liar mengurangi kenyamanan
Di sebuah ruas jalan menuju homestay yang terletak di seberang obyek wisata Pintu Langit dan Taman Langit, tampak antrian mobil berjajar. Seseorang melambaikan karcis di depan tulisan besar ; retribusi 15 ribu/orang.
Apaan nih pikirku, ruas jalan ini jalan utama, bukan jalan atau pintu masuk menuju obyek wisata kok sudah ada retribusi? Tetapi saat giliran mobil pinjaman kami berhenti di depan "oknum" si bapak ini mempersilahkan kami melintas tanpa membayar. Ya udahlah meski penasaran mengapa tidak diperlakukan sama dengan antrian mobil sebelumnya, kami pun melanjutkan perjalanan.
"Oooh mungkin kita nggak dipungut bayaran karena dia melihat topi Polisi Militer di jok depan ini Pa" kata anakku yang membuat kami sadar dan tergelak. Bisa jadi, topi Polisi Militer (PM) milik saudara si pemilik mobil yang dititipkan di jok depan ini menjadi penyelamat kami dari pungli.
Namun di hari yang berbeda, keesokan harinya saat menuju arah obyek wisata Kawah Sikidang ternyata topi PM sudah tidak punya taji, karena kami tetap harus membayar pungli yang bisa ditawar. "Tiap orang 15 ribu tetapi boleh bayar seikhlasnya Pak. jangan lupa nanti di obyek wisatanya bayar karcis masuk lagi" kata si oknum. Karena penawaran tersebut jadilah suami bayar pungli sejumlah 30 ribu. Toh nantinya di obyek wisata masih bayar lagi antara 15-20 ribu per orang.
Pengen dapat view lautan awan tapi....
Harapan menjejakkan kaki di atas lautan awan selama berada di Dieng tak kunjung kesampaian. Padahal kalau lihat di media sosial sepertinya sering sekali pemandangan ini ditemukan. Ya sudahlah, toh sebagai gantinya kami mendapatkan pemandangan tak terduga yaitu awan mirip topi di puncak Sindoro yang bisa dipandang dari Gardu Pandang Tieng. Oh ya, untuk menikmati pemandangan di Gardu Pandang Tieng ini tidak dipungut biaya. Tetapi kalau ingin berfoto di Taman Langit dan Pintu Langit yang berada di bawahnya barulah membayar 20 ribu/orang di weekend dan 15 ribu per orang/weekdays di masing-masing spot foto.
Gunung Sindoro Bertopi Awan, Dokpri |
Ternyata mie ongklok itu...
Salah satu daya tarik jalan-jalan bersama keluarga adalah wisata kuliner. Jauh-jauh dari Sidoarjo ke Wonosobo pasti rugi dong kalau nggak mencicipi makanan khas daerah sini. Sate madura dan bakso tusuk gardu pandang Tieng belum bisa disebut sebagai kuliner khas Dieng kaan, maka harus mencari makanan yang lain sebagai perbandingan.
Nah, sepanjang perjalanan dibuat penasaran papan : Mie Ongklok Wonosobo. Jadilah malam harinya berkelana ke pusat keramaian di Titik Nol Dieng buat mencari mie ongklok yang membuatku terheran-heran.
Ternyata mie ongklok tuh mie berkuah ditambah bumbu sate. Pantesan rata-rata di kedai Titik Nol Dieng mie ongklok disajikan satu paket dengan sate sapi/ayam atau kambing. Seporsi mie ongklok - 3 tusuk sate dibandrol 25 ribu rupiah. Dagingnya gede-gede, nggak heran jika makan mie anget dan tiga tusuk sate nih perut sudah kenyang banget.
Pelajaran tentang kejujuran di Candi Arjuna
Di Dieng mau kemana aja? Pilihan obyek wisata di Dieng cukup banyak sih. Tapi suami memilih yang terdekat dengan penginapan. 2 hari 2 malam di Dieng selain ke gardu pandang Tieng dan Pintu Langit di seberang jalan, disempurnakan dengan berkunjung ke Kawah Sikidang dan Candi Arjuna. Di Dieng dikenal sistem tiket terusan. Pengunjung Kawah Si Kidang dikenai HTM 30 ribu per orang dan berlaku tiket terusan ke Candi Arjuna, alias per destinasi wisata (belum termasuk pungli di tengah perjalanan) setiap pengunjung dikenai tiket masuk 15 ribu.
Meski gerimis yang cukup deras mulai turun, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Candi Arjuna. "Hujan nih, mending kita pulang aja," kata suami. "Aaah sayang tiketnya hangus dong, lanjut aja, paling sebentar lagi gerimisnya reda" sahutku (maklum emak-emak kan paling merasa sayang kalau ada uang terbuang) Alhamdulillah gerimis yang cukup deras akhirnya mereda saat mobil yang kami tumpangi mulai memasuki area Candi Arjuna. Kebetulan adzan dhuhur terdengar, kami sempatkan sholat di mushola dahulu sebelum berkeliling menikmati pemandangan.
Usai sholat, suami memesan empat mangkok bakso untuk sekadar mengganjal perut yang mulai keroncongan. Cuaca mendung, udara dingin menjadi katalis cepatnya isi mangkok bakso berpindah ke perut-perut yang tak tahan dengan demonstrasi cacing-cacing minta perhatian.
Saya dan suami bergegas menuju pintu masuk. Si kakak dan adik masih tertinggal di belakang. Ketika kami bertemu di pintu masuk, si adik bercerita "Ma, tukang bakso itu tadi nemu HP ketinggalan di mushola" "Terus?" tanyaku penasaran. "Lalu dia menyerahkan ke petugas penjaga di area pengumuman karena tidak ada pengunjung yang mengakui hapenya ketinggalan" sahut di adik menutup cerita.
Alhamduillah. Di zaman edan ternyata masih banyak orang yang memegang teguh kejujuran. Padahal bisa aja salah seorang dari ribuan pengunjung mendatangi abang bakso untuk mengaku sebagai pemilik ponsel atau bahkan si tukang bakso bisa menyimpannya untuk keperluannya sendiri. Tetapi ternyata tidak demikian, semoga saja ponselnya sudah kembali ke tangan si tuan.