“Kok bisa ya sampai seperti itu” gumam saya dalam nada sedih
Anak
bungsuku menjawab “Karena kecewa Ma, supporter itu menanggung kecewa yang teramat
sangat, Mama ngga tau sih”
Kami
ngobrol tentang Tragedi Kanjuruhan. Sungguh peristiwa tragis yang sangat
memilukan. Sepakbola yang seharusnya bagian dari olahraga, tontonan yang
mengasyikkan berubah menjadi penyebab huru hara hingga tercabutnya ratusan
nyawa di Stadion Kanjuruhan, Malang.
Seolah
tak percaya ketika saya membaca berita online dini hari, 2 Oktober yang
menyatakan 40 orang meninggal karena kerusuhan di Kanjuruhan. Dan jumlah itu
terus bertambah hingga mencapai seratus jiwa ketika anak saya nonton televisi
pagi hari.
Apa
penyebabnya, siapa yang salah? Pikiran saya tak mampu mencerna. Kerusuhan Kanjuruhan
bermula ketika laga Arema vs Persebaya berakhir dengan skor 2:3 untuk
kemenangan Persebaya. Usai pertandingan tim Persebaya tanpa sempat bersalaman
dengan pemain Arema layaknya akhir pertandingan sepakbola segera berlari ke
ruang ganti. Tampak beberapa barang mulai dilempar ke lapangan. Para pemain itu
mungkin sudah merasa situasi mulai tak kondusif. Lalu salah seorang supporter
Arema turun ke lapangan, entah apa yang dibicarakan dengan para pemain Arema. Lalu
diikuti gerombolan supporter lain. Tampak suasana makin tak terkendali. Di twitter
saya menyaksikan beberapa tindakan represif aparat dan juga tindakan anarkis
oknum supporter. Gas air mata ditembakkan aparat, puluhan ribu supporter yang
berada di tribun kocar-kacir. Dan inilah penyebab jatuhnya korban jiwa hingga ratusan
karena mungkin terinjak-injak dan kesulitan bernapas di tengah kerumunan.
Mengapa
supporter harus turun ke lapangan dan teman lainnya terprovokasi? Mungkin seperti kata anakku, pemicu utamanya
adalah rasa kecewa. Kecewa karena kekalahan tim kesayangan dari tim musuh
bebuyutan. Atau mungkin kekecewaan itu akumulasi dari kekecewaan lain yang
lebih besar. Kecewa dengan hidup yang terasa kian sulit dengan kenaikan
harga-harga, ingin sejenak melupakan sesaknya dada dengan menonton sepakbola,
tiket bisa dibeli dengan harga mulai 50 ribu saja. Ternyata bukan selebrasi
kemenangan yang didapatkan, namun kekalahan di kandang sendiri.
Mengapa
aparat keamanan harus menembakkan gas air mata? Mungkin mereka berdalih membela
diri, suasana chaos makin tak tekendali, tak ada pilihan untuk mengakhiri. Tapi
jika yang menjadi sumber keributan adalah supporter yang merangsek ke lapangan,
mengapa gas air mata ditembakkan ke arah tribun? Entahlah entahlah. Saya tak
sanggup membayangkan.
Siapa
yang bertanggung jawab? Fakta terungkap bahwa panitia telah mengajukan agar jam
tanding digeser ke sore hari untuk mengantisipasi besarnya animo Aremania,
tetapi usulan ditolak PT LIB selaku penyelenggara kompetisi. Perlu dicatat,
Bonek tidak mengadakan koordinasi untuk datang berombongan seperti saat menjadi
supporter Persebaya. Masih segar dalam ingatan rusaknya stadion Delta Sidoarjo karena
ulah Bonek yang kecewa timnya kalah dari RANS. Ngga kebayang seperti apa
mencekamnya jika Arema bertemu Bonek di Kanjuruhan. Namun meski stadion
Kanjuruhan dipenuhi supporter Arema sendiri, kerusuhan yang mengakibatkan
ratusan nyawa melayang tetap terjadi.
Rumor
yang beredar, tiket masuk dijual melebihi kapasitas, tetapi pihak penyelenggara
pertandingan tidak mengakui.
Lalu tragedi
ini salah siapa? Entahlah entahlah…saya tak mampu menguraikan benang ruwetnya.
Tak terbayang kesedihan di pihak keluarga korban. Ketika anak, suami, cucu, keponakan berpamitan hendak nonton bola lalu pulang tinggal nama. Ketika keluarga kecil, ayah ibu dan anak balitanya pergi ke Kanjuruhan untuk menikmati suasana, kemudian terperangkap dan berpisah di dunia. Berapa orang yang kehilangan tulang punggung keluarga, berapa anak menjadi yatim bahkan yatim piatu tiba-tiba, ratusan orang tinggal kenangan saja, foto-foto terakhir mereka di tengah massa yang dengan gegap gempita mengibarkan bendera sebelum pertandingan bermula.
Sembari
menanti pengadilan bagi pihak mana yang paling bertanggung jawab atas tragedi sepakbola
terbesar di Indonesia ini, dan teriring doa bagi para korban, seburuk-buruk
kejadian yang mengerikan semoga kita bisa mengambil hikmahnya.
😔Bahwa fanatisme berlebihan terhadap apapun bisa menjadi pemicu kerusuhan. Menganggap yang dibelanya paling benar, paling jago dan tak terkalahkan, menganggap remeh yang lain dan jika yang dipuja tidak sesuai harapan maka menimbulkan kekecewaan yang mendalam dan memicu kemarahan.
😔Bahwa kemarahan bisa menjadi bensin untuk menyalakan kebencian. Tindakan represif aparat untuk menertibkan oknum supporter yang ditengarai mulai anarkis memicu tindakan anarkis lainnya. Benar kata Rasulullah bahwa jika marah hendaknya segera berwudhu atau setidaknya duduk agar kemarahan mereda. Sebab sifat air itu meneduhkan, menyiram api. Mungkin penggunaan water canon bisa dipertimbangkan sebagai bagian protap pengamanan pertandingan.
😔Bahwa
dalam kerumunan segala sesuatu bisa terjadi. Jika memutuskan untuk berada di
tengah lautan manusia, sudah siapkah atas
segala kemungkinan yang bakal menimpa diri? Kembali ke niat kita, berada dalam kerumunan untuk tujuan apa? bukan berarti yang berkerumun karena hanya ingin nonton bola itu semua buruk, misalnya bagaimana jika niatnya ingin membahagiakan keluarga? Bukan berarti yang berada dalam kerumunan pengajian itu semua baik, bagaimana jika ada yang menyusup karena ingin mencopet? Sebaik-baik "kerumunan" adalah kerumunan hamba Allah, yang berniat dan bertekad menuntut ilmu, mengagungkan AsmaNya
"Kerumunan" lain di Jogokariyan, untuk kajian di tanggal yang sama.
Bahwa kematian adalah bagian dari takdir dan tak pernah diketahui bagaimana dan kapan hidup ini berakhir. Maka berbekal adalah sebaik-baik pilihan. Sebisa mungkin tak menunda sholat agar tak punya hutang sholat jika sewaktu-waktu dipanggil. Berbuat kebaikan sekecil dan sesederhana apapun yang penting ikhlas, sebab kita tak pernah tahu amalan apa yang memperberat timbangan kebaikan.
Semoga,
jargon “tidak ada sepakbola seharga nyawa” bukan sekadar retorika belaka.
Tragedi Kanjuruhan adalah duka kita semua. Namun lautan duka sebesar apapun tak
akan berarti jika tak menjadi pembelajaran di masa depan.
Turut berdukacita sama kejadian kemarin, sebagai warga Malang sendiri juga enggak nyangka kalau bakalan kejadian kayak gini karena sebelumnya juga enggak pernah sampai banyak korban. Sedih juga sama dampaknya, banyak korban dan nyawa yang terenggut karena ini.
ReplyDelete